Sisi Pandang Lain

Memahami Sesuatu dari Perspektif yang Berbeda

Monday, August 5, 2019

CERPEN : Sedikit (sekali) Tentang Ikhlas

    Suatu hari aku akan makan di warteg. Saat itu sudah tengah siang dan udara sangat terik. Aku bergegas ke dalam menghindari terik mentari yang mengamuk. Mengerikan kalau kulitku yang putih mulus ini gosong begitu saja. Tak berapa lama aku sudah duduk di salah satu kursi setelah memesan makanan.

   Suasana di warung ini ternyata tak kalah ganas dari di luar. Banyak orang berjumpelan menyantap makan siang. Di pojokan tampak seorang wanita dengan baju kantoran duduk bersama rekannya, seorang pria. Dari gerakan tubuh keduanya, mungkin mereka sepasang kekasih. Tetapi tampaknya sang pria lebih tua beberapa tahun dari sang wanita. Ah, apa pria itu hidung belang yang sedang serong dengan teman sekantornya? Hm, masa bodohlah!

   Di sisi lain ada remaja SMA yang duduk bergerombol. Laki-perempuan asyik dengan pembicaraannya. Obrolan berpindah-pindah dari seperti apa bentuk celana dalammu, kapan terakhir kali mabok, seputar game, janjian ke diskotik, dan obrolan-obrolan receh lainnya.

   Aku tergeragap ketika tiba-tiba seorang pramusaji mendekatiku sambil membawa nampan berisi pesanan. Ah, aku terlalu asyik memandangi orang-orang di sini. Lautan manusia. Buru-buru kuucapkan terimakasih pada lelaki belasan tahun yang harusnya duduk di bangku SMP itu. Dia tersenyum ramah lalu berbalik pergi. Langsung kuseruput es teh yang baru saja mendarat. Ahhh, mati kau sumuk!

   Berisik. Banyak orang riwa-riwi. Panas. Gerah. Ternyata hari ini ramai sekali. Segala sesuatu di sekitarku bergerak acak. Membuat kepalaku puyeng. Makan pun jadi tak nikmat. Inginnya duduk-duduk sambil makan dan merasakan ketenangan. Tapi, nyatanya ....

   Di tengah-tengah warteg yang hampir menyerupai neraka itu, tiba-tiba seorang dekil dengan rambut tak terawat muncul. Oh, sumpah! Dia menghilangkan nafsu makanku. Kulit berdebu tebal dan berwarna hitam. Rambut yang mungkin tidak disisiri sejak lahir. Celana kolor hitam yang sudah lubang di pantatnya. Kaus oblong biru muda yang menyaru entah jadi warna apa, tidak jelas. Kumal. Bau. Wajahnya berkumis. Kutaksir-taksir mungkin dia seumuran denganku.

   Tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Jelas, aku yakin dia bukan pengamen. Tidak ada gitar. Tidak ada ecrek-ecrek. Tidak ada botol berisi kerikil juga. Kalau mau mengamen, mau mengamen dengan apa dia? Menyanyi saja sambil tepuk-tepuk? Ah, gak modal banget!

   Sambil berusaha mengembalikan nafsu makanku, kucoba untuk menerawang pria itu. Siapa, ya? Aha! Mungkin dia peng—

   Aku melonjak kaget hampir terpental dari kursi dan membumbung ke angkasa, keluar melalui atmosfer, dan mengawang-awang di luar bumi saat orang itu tiba-tiba duduk di depanku! Iya, di depanku! Untungnya gravitasi bumi menahan keterlonjakanku dan membuatku tetap duduk di atas kursi.

   Mata rusuh itu menatapku. Ah, tadi aku mau bilang apa? O, iya! Pengemis! Matanya itu, iya! Pengemis!

   Beberapa menit kami bertatapan. Dunia seperti berhanti. Waktu tak berdetik. Hanya ada aku dan dia. Mengenaskan. Harusnya momen ini kulewatkan dengan lelaki macam artis Korea. Tapi, ah! Sudahlah! Aku menunggunya mengucapkan sesuatu. Tapi, dia diam saja. Mematung. Hanya melihatku. Heran. Apa yang dilakukannya? Aku sungguh tak paham mengapa dia duduk di depanku! Hari yang sial!

   Akhirnya kucoba tersenyum padanya. Wajah secantik aku begini mana boleh marah. Tidak boleh. Wanita cantik tidak boleh marah ... nanti jadi jelek ... kalau jelek kayak pantat monyet .... Kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan. Bidadari, aku bidadari. Bidadari harus baik hati. Aku tersenyum lagi.

   Kuambil selembar uang lima tibu dari dalam kantong. Dengan sopan kuberikan uang itu pada sesosok aneh dan hitam dan gelap dan absurd di depanku ini. Tak lupa, dengan senyuman bidadari kahyangan yang meneduhkan.

   Pria itu menarik lembar lima ribu di tanganku dengan kasar! Uh, tanganku yang mulus-licin seperti porselen disentuh oleh tangannya yang mirip parutan kelapa. Uh! Kutarik tanganku dan kusembunyikan di bawah meja. Kubelai-belai tanganku sendiri. Ck, kasihan.

   Kupikir setelah itu dia akan mengucapkan terimakasih dan pergi. Eh, ternyata! Gila benar! Edan! Dia ini gila apa edan? Edan apa gila? Duh, duh, duh, tak habis pikir aku! Manusia macam apa ini!

   "Masa cuma 'ma rebu?" tanyanya dengan wajah datar dan polos.

   Huik! Mataku langsung melotot dan copot jatuh ke tanah. Tapi, bohong. Wkwk. Lima detik kupakai untuk merasionalkan kata-katanya. Kata-kata yang amat sulit dicerna.

   "Masa cuma 'ma rebu? Kuranglah! Bisa dapet apa 'ma rebu?" katanya lagi.

   Duar!!! Cetar, cetar! Wêz, wêz, wêz! Ada badai dengan petir di kepalaku! Wui, aku terguncang cang cang cang cang! O, aku terjerembab jatuh menabrak batu sebesar onta! Wuh, wuh, wuh!

   Lalu aku kembali ke kenyataan. A-k-u ... m-a-s-i-h ... b-i-d-a-d-a-r-i .... Oke, aku tersenyum lagi. Tanpa basa-basi kuambilkan selembar dua puluh ribu sekarang. Jika ditambah dengan uang yang ada di tangannya, sudah bisa untuk membeli dua mangkuk bakso beserta seplastik es teh!

   Dia menerima uang itu tetap dengan wajah yang datar. Tarikannya juga masih kasar. Mirip parutan kelapa. Dan aku bidadari-kelapa-putih yang tergores parutan kelapa kadaluarsa ini. Bah!

   "Dasar pelit! Masa cuma ngasih dua puluh rebu!" Pria itu menyimpan dua lembar pemberianku setelah berkata seperti itu ke dalam kantong kolor buluknya. Padahal baru saja dia menghinaku! Dia menghinaku tapi dia simpan uang dariku!

   "Hei, kamu!" kutunjuk hidungnya yang berdebu, "Dasar tidak tahu terimakasih! Masih untung sudah kuberi! Minta nambah lagi! Kamu itu pengemis apa perampok?"

  Pria lusuh itu tetap saja berraut datar seperti ombak yang setia menggempur karang. Meninggi dan hempas. Bergulung lalu pecah. Ada lalu tiada. Wajahnya adalah kontradiksi antara banal dan taat. Campuran kejalangan pelacur dan asketisme sufi. Pantai bergemuruh yang selalu tenang. Diam, tapi menyerang. Menyerang, tapi diam. Apa, sih.

   "Kurang ajar kamu, ya! Dikasih hati, minta jantung! Tukang malak gak tahu terimakasih!" teriakku padanya.

   Dalam beberapa saat aku menjadi pusat perhatian. Mataku malu. Hilang harga diriku. Aku bukan bidadari lagi. Aku jelek. Seperti pantat monyet.

   Segera saja aku membayar makananku pada ibu pemilik warung. Gak pake lama. Lima puluh ribu kekeluarkan. Kutempelkan di meja.

   "Kembaliannya buat orang itu, Bu!" kataku sambil menunjuk orang gila tukang malak itu.

   Tak menunggu ba-bi-bu, aku langsung pergi keluar dari warteg tanpa menoleh sedikit pun pada sekitar. Aku marah!

   Keesokan harinya aku ikut Mama ke pengajian. Bukan gayaku, sih, datang ke pengajian dengan memakai jubah. Tapi, mau bagaimana lagi? Demi Mama. Terpaksa pun tak apalah.

   Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan tukang ceramah. Apalagi tukang ceramah yang menjadikan ceramah sebagai profesi mencari keuntungan, tok! Nabi Muhammad Saw. saja malah menghabiskan kekayaannya demi dakwah. Ustad zaman now, kok, malah sebaliknya.

   Tapi, kupingku mendadak seperti dibetot paksa untuk mendengar ketika ustad kampung bernama Paiman menguraikan tentang Surat Al-Baqarah ayat 263. Aku tidak hafal persis bunyi ayatnya. Yang membekas dalam hatiku adalah ceramah Ustad Paiman.

   "Perkataan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang menyakiti hati penerimanya," kata Ustad Paiman mengutip surat Al-Baqarah sambil menatap jamaah satu per satu.

   "Ada dua hal yang ditekankan di sini. Satu, perkataan yang baik. Dua, pemberian maaf. Mengapa begitu? Misal, tiba-tiba ada pengemis di depan Anda. Tapi, Anda tidak punya uang sama sekali! Apa yang harus Anda lakukan? Ya, berikanlah perkataan yang baik. Bilang saja dengan lembut kalau Anda tidak punya uang."

   Ibu-ibu jamaah manggut-manggut.

   "Yang kedua, pemberian maaf. Misal  setelah dibilangin kalau Anda tidak punya uang, dia tetep maksa. Bahkan ada yang sudah dikasih, tapi minta lagi! Nah, pemberian maaf atas perilaku mereka itu lebih baik."

   "Jadi, Islam tidak hanya menyuruh umatnya bersedekah. Tidak sekadar memberi saja. Ada ketentuannya. Sedekah tidak boleh menyakiti hati penerimanya. Juga tidak untuk dipamerkan. Kalau yang diberi sedekah kebetulan kurang ajar, harus tetap berkata-kata baik dan memberikannya maaf. Semua itu lebih baik daripada Anda sedekah, tapi diem-diem gondok (kesel/marah) kepada penerimanya."

   Aku tercengang mendengar itu. Persis seperti patung aku terdiam. Dan, mulut ini menganga seperti gua purbakala.

   "Jadi, gimana, Ibu-ibu? Sulit, ya, untuk bisa ikhlas?" Ustad Paiman tersenyum ramah menyebutkan tema utama pengajian hari ini : ikhlas.

   "Jadi, ikhlas itu bukan hanya tidak berharap imbalan apapun. Tapi juga bersedia ketika kebaikannya dibalas dengan keburukan. Intinya, Ibu-ibu, ikhlas atau tulus itu tidak terdefinisi. Sulit dibahasakan dan dijelaskan. Karena seharusnya dia 'tiada'. Tiada yang melahirkan segalanya."

11.47.05.08.2019

 

No comments:

Post a Comment