Sisi Pandang Lain

Memahami Sesuatu dari Perspektif yang Berbeda

Wednesday, August 7, 2019

Paling Enak Makan Uang Sendiri

     Nay sudah tiba di daratan yang selama ini ia impi-impikan. Yogyakarta dengan sejuta ceritanya! Terakhir kali ia datang kemari ketika lulus SD. Yogyakarta mengenangkan keindahan mistik bagi Nay. Ia jatuh cinta padanya. Karena itu, walau enam tahun telah berlalu, Nay masih terkesan dengan kota tersebut. Selepas lulus SMA, Yogyakarta menjadi tujuan kuliah selanjutnya!

     Nay bilang kepada kedua orangtuanya, tak usah risaukan biaya. Nay sendiri yang akan mencari uang untuk biaya kuliahnya. Agak berat hati dua suami-istri itu mengizinkan Nay pergi. Tapi, mau bagaimana lagi. Nay tidak bisa dihalang-halangi. Sekali dia gaungkan maunya, sekali itu juga dunua harus tunduk. Kalau tidak, lihatlah apa yang akan dilakukannya.

     Turun dari kereta, Nay segera pergi ke tempat tinggal barunya. Sudah jauh-jauh hari ia mencari tempat kos. Ia dapatkan kos-kosan yang strategis dekat dengan kampus dan angkringan. Tak salah Nay pilih kota ini sebagai tempat melanjutkan kuliah. Selain indah menawan, segala sesuatu di sini murah meriah! Cukup lima ribu saja kau sudah kenyang.

     Nay merapikan barang-barangnya di sebuah lemari kecil yang dibagi bersama penghuni kamar lain. Nay sekamar dengan seorang gadis pendiam dan tampaknya anti-sosial. "Baguslah," pikir Nay, "aku jadi tidak perlu berbasa-basi dengan orang asing." Kemudian ia melahap nasi bungkus yang dibawakan ibunya dari rumah sambil berpikir keras setelah ini pekerjaan apa yang harus ia cari.

     "Pokoknya apapun yang terjadi aku harus dapat pekerjaan!" gumam Nay dalam hati sambil memelototi tempe-bosok di tangan.

      "Ya, aku harus dapat pekerjaan! Kalau tidak, bisa kacau semua." Nay melahap tempe-bosok itu dalam sekejap.

     Setelah makan, saat itu juga Nay segera bersiap-siap pergi mencari pekerjaan. Padahal hari masih terik sekitar pukul sebelas lewat. Nay tidak peduli. Dengan jins belel dan kaus lengan panjang berwarna merah muda, Nay pergi. Tak lupa ransel hitam yang selalu menemaninya. Ia berpamitan kepada temannya si Anti-sosial. Gadis bulat itu hanya mengangguk dan tersenyum.

     Perjalanan itu dimulai di sekitar kos-kosan Nay yang diisi rumah makan, angkringan, toko, dan lain-lain. Kalau bisa, Nay harus mendapat tempat kerja yang dekat dari kosnya. Nay tidak punya kendaraan. Hari ini sampai nanti ia harus berjalan kaki.

     Tanpa ragu-ragu, Nay memasuki satu per satu bangunan di sepanjang pinggir jalan. Di toko pertama ia ditolak karena toko itu membutuhkan karyawan full-time. Nay sebagai mahasiswi jelas tak sanggup. Di rumah makan selanjutnya ia juga ditolak karena tidak ada lowongan sama sekali. Ketiga kalinya ia masuk ke sebuah warung. Ditolak juga karena hanya karyawan lelaki yang dibutuhkan. Begit seterusnya pada tempat keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan .... Persis pukul empat sore, Nay belum mendapat pekerjaan sama sekali.

    Nay duduk-duduk di pinggir trotoar sambil menenggak sebotol air putih sampai tuntas. Sungguh melelahkan perjuangan ini. Matanya hampir putus asa dan nyalinya redup. Sudah seharian ia kelilingi tempat ini. Tak ada satu pun yang mau menerima tenaganya.

     Pelan-pelan air mata turun dari matanya, melaju di pipi, dan jatuh menggandul dari dagu ke jalanan. Sungguh mati kalau tak ia dapatkan pekerjaan, kuliahnya pasti hancur total. Orangtuanya di rumah bakal sedih dan pasti menyalahkan Nay yang keras kepala. Uang di kantong pun tak mungkin bisa untuk bertahan hidup lebih dari sebulan. Nay kehilangan pikiran dan beban-beban berat menggelayuti dirinya.

     Sebentar lagi sudah sore. Nay memutuskan pulang dulu. Bagaimana pun caranya, tidak peduli apapun yang terjadi, pokoknya Nay harus dapat pekerjaan! Kakinya bangkit tegak di atas tungkai. Ia hapus air matanya yang bercampur debu. Ia penuhkan lagi tekadnya bulat-bulat. Masih ada hari esok. Masih ada kesempatan. Jangan menyerah dulu. Ini belum saja dimulai. Nay melangkah pulang seraya menjaga semangat di dadanya.

     Pagi-pagi sekali Nay sudah bangun dan bersiap-siap akan pergi. Diliriknya si Anti-sosial yang masih mendengkur di atas kasur. Nay bergidik mengingat semalaman ia harus menyumpal kupingnya karena dengkuran temannya itu. Segera ia kenakan sepatu. Pelan sekali ia tutup pintu agar temannya tak bangun. Dan melangkahlah ia ke jalanan.

     Dilaluinya jalanan dengan ceria. Sinar matahari yang kekuningan jatuh dari surga lalu melekat pada dinding-dinding, pohon-pohon, aspal, dan terakhir pada tubuh Nay. Tampak sepagi itu masyarakat Yogyakarta sudah bangun. Pagi telah menunjukkan diri dengan anggunnya. Nay senang sekali. Suasana baru, tempat baru, dan kehidupan yang baru. Tapi, di mana-mana sama. Kicauan burung tetaplah sama dengan yang di kampungnya. Daun merekah juga sama belianya dengan yang ia lihat di rumahnya. Pepohonan juga masihlah teduh seperti miliknya di kebun.

     Nay terhenti di depan sebuah rumah makan yang baru dibuka. Kalau tidak salah, tempat itu kemarin tutup. "Wah, lumayan. Aku coba saja," ucap Nay dalam hati. Lalu Nay segera masuk ke dalam tempat tersebut.

     "Selamat pagi," Nay menyapa seorang lelaki paruh baya yang tampaknya sedang menyiapkan rumah makan ini.

     Lelaki itu sedang merapikan sesuatu di balik meja utama tempat memesan segala sesuatu. Nay hanya melihat punggungnya yang membungkuk. Dia memakai kaus hitam polos. Tak lama kemudian laki-laki itu menoleh pada Nay. Ternyata rambutnya panjang dan keriting. Tubuhnya kurus kering, tapi bertenaga. Lelaki itu semakin garang dengan celana kainnya yang hitam.

     "Ada apa ya, Neng?" tanya lelaki itu dengan senyum tipis.

     "Bapak, saya mau mencari pekerjaan. Apa saja, Pak," balas Nay spontan. "Tapi, paruh waktu, Pak."

     Lelaki itu melirik lebih tajam pada Nay. Sepertinya dia punya alat pemindai di balik matanya yang bisa mendeteksi apakah seseorang membawa bom, obat terlarang, atau senjata tajam di balik tubuhnya. Lalu matanya tak awas lagi. Dia melanjutkan kegiatannya.

     "Kamu diterima. Bekerja mulai sekarang, ya," jawab lelaki itu datar—datar sekali.

     Nay hampir tak bisa melonjak gembira dan teriak-teriak seperti orang gila karena melihat betapa datar lelaki ini. Semudah ini ia diterima? Hah? Ada manusia yang semudah itu menerima orang lain bekerja jadi karyawannya? Padahal belum saja dia lihat CV dan asal-usul Nay. Bahkan nama saja belum!

     Tak usah lama-lama dipikirkan itu oleh Nay. Sebab sekarang tugas baru menunggunya. Mulai hari itu ia bekerja. Karena hari ini belum ada kegiatan kampus, Nay bisa bekerja dari pagi. Semangat bekerja!

     Berhari-hari telah dilalui Nay dengan riang. Kegiatan kampus mulai berjalan. Sambil belajar, Nay bekerja. Tak jarang ia membawa serta tugasnya ke tempat kerja. Paman Ucok pemilik rumah makan itu tak keberatan dengan tindakan Nay asal tidak mengganggu pekerjaannya. Beberapa kali ia malah membantu Nay mengerjakan tugasnya. Paman Ucok ternyata lekaki yang cerdas dan berwawasan. Banyak hal bisa diperbincangkan dengannya. Dalam beberapa hari saja, Nay sudah begitu akrab dengan Paman Ucok. Dia seperti ayah sendiri bagi Nay.

     Kegiatan yang paling dibenci Nay ketika bekerja adalah membersihkan meja ketika pelanggan selesai makan. Tak jarang meja itu kotor sekali. Tisu bekas bercampur kuah makanan, jadi satu di dalam piring. Terlihat seperti kencing anjing daripada bekas makanan. Betapa jorok pelanggan-pelanggan itu. Padahal sudah disediakan tempat sampah.

     Setiap kali mengangkut piring-piring kotor itu ke belakang, Nay merasa terhina. Entahlah apa yang ada dalam pikiran Nay. Membersihkan bekas makanan orang lain bukanlah gayanya. Tapi, mau bagaimana lagi? Dia butuh uang. Butuh makan. Butuh terus hidup.

     Puncaknya adalah dulu awal-awal saat bekerja. Baru pertama kali itu Nay berhadapan dengan piring-piring kotor pelanggan. Ya, di sana Nay bekerja serabutan. Mulai dari menyapu, mengepel, menyiapkan rumah makan, menjadi waitres, menjadi kasir, mencuci piring, dan lain-lain. Apapun yang bisa dikerjakan.

     Sebelumnya Paman Ucok telah mempekerjakan seseorang dari luar kota. Remaja jalanan yang menggelandang di Yogyakarta. Tapi, suatu hari bocah itu mengambil uang milik Paman Ucok dan kabur begitu saja. Paman Ucok menceritakan hal tersebut pada Nay dengan muka datar seolah tak pernah terjadi apa-apa. Nay semakin kagum dengan orang ini.

     Saat itu pukul sepuluh malam dan rumah makan sepi. Nay di belakang di depan setumpuk piring kotor. Tak ada suara apapun. Begitu sunyi dan mengiris. Nay menangis. Demi bisa kuliah dan bertahan hidup, Nay mau mencuci piring kotor bekas orang lain. Dalam hati ia meratap jijik. Hidup telah memperkosanya dan ia tak bisa berontak. Bagaimana menghadapinya lagi selain dengan menikmati? Sambil menangis ia cuci piring-piring itu sampai bersih. Ia terus menangis tersedu-sedu hingga cucian itu selesai. Tangisnya pun selesai.

     Sebulan kemudian ia dapatkan gaji pertama. Nay melompat-lompat kacau saat Paman Ucok menyodorkan amplop putih padanya. Bahagianya tak terkira. Ia berteriak menceracau dan geleng-geleng mirip pemain band rock.

     "Terimakasih, Ya Allah! Alhamdulillah! Alhamdulillah! Alhamdulillah! Yeeey! Yes, yes, yes! Alhamdulillah," begitu katanya sambil melompat-lompat tanpa henti.

     Praktis seharian itu ia bekerja dengan semangat berluap-luap. Senyumnya lebih lebar dari hari biasanya. Geraknya lebih lincah dari kemarin. Suaranya lebih tinggi dari lusa. Caranya melangkah, berjalan, dan mondar-mandir juga berubah. Nay gembira sekali.

      Esoknya Nay datang pagi-pagi sekali karena kuliahnya libur. Ia berjalan melewati trotoar dengan tangan tersembunyi di kantung jins. Langkahnya panjang-panjang dan jumawa seperti seorang pemenang. Ya! Ia seorang pemenang! Bagi dirinya sendiri. Ia berhari-hari menangis saat mencuci piring dan kini telah ia dapatkan imbalannya. Terasa lebih manis karena dia mau melawan dirinya sendiri.

     Terlihat Paman Ucok sedang duduk di depan rumah makannya sambil membaca koran. Nay segera duduk di sebelahnya dengan senyum terkulum. Matanya cerah. Bibirnya cerah. Mukanya cerah. Nay berlagak seperti si miskin yang baru saja memenangkan lotere.

     "Aneh kau ini," kata Paman Ucok melihat tingkah anak buahnya.

     "Uh, Paman Ucok! Paman Ucok," Nay mulai berceracau lagi, "kau tahu, Paman?"

     Paman Ucok malas menanggapi Nay. Dia meneruskan membaca koran tanpa memperhatikan Nay. Tapi, si gila satu ini terus mengoceh.

     "Makan malamku kemarin enak banget, Paman Ucok. Sarapanku tadi juga ueeenak banget!" ujar Nay dengan mimik dilebih-lebihkan. "Wah, makan dengan uang sendiri emang paling enak, Paman Ucok! Enak sekaliiiiiiiiiiiiii!"

     Nay berteriak keras sekali hingga beberapa orang yang lewat menoleh. Paman Ucok sontak menelengkan kepala padanya dan memelototinya. Nay hanya tersenyum tersipu-sipu pada pejalan kaki yang menoleh tadi. Paman Ucok kembali membaca koran lagi. Sedangkan pejalan kaki tadi berlalu.

     "Pejabat makan uang rakyat tak pernah kenyang-kenyang! Soalnya makanan curian itu gak enak, Paman Ucok! Paling enak, makan uang sendiri! ...."

     Nay terus meracau-racau pagi itu tak henti-hentinya. Dan Paman Ucok tak mendengarnya sama sekali. Ia terus membaca koran. Orang-orang sibuk berlalu-lalang entah ke mana. Pagi itu ramai sekali. Seramai ocehan Nay.

20.58.07.08.2019

     

No comments:

Post a Comment