Sisi Pandang Lain

Memahami Sesuatu dari Perspektif yang Berbeda

Friday, August 2, 2019

Dia Harus Tumbuh dengan Bahagia




   Sepulang sekolah inginku segera minum secerek air dingin, lalu melahap ikan goreng dan sambal terasi buatan Mama. Sudah kulalui aspal berkerikil ini sepuluh menit yang lalu. Matahari terik melelehkan keringatku. Bercaknya seperti membakar dan melepuhkan kulit. Perjalanan ke rumah terasa begitu jauh karena panas tengik ini! Tapi, kubayangkan ikan goreng dan sambal terasi sehingga kupercepat langkah.

   Biasanya Mama akan menyambutku dengan senyum terurai. Kemudian kucium tangannya dan segera pergi ke kamar untuk ganti baju. Namun, kali ini berbeda. Mama tidak menyambutku. Terdengar ribut-ribut kecil di kamar Mama.

   Aku melepas sepatu pelan-pelan dan berjalan berjingkat-jingkat ke kamar Mama. Suara itu semakin jelas. Aku agak terkejut mendengar sebuah suara. Suara yang sudah lama alfa beberapa minggu ini. Suara Papa! Tak banyak cincong, kupasang kuping sungguh-sungguh.

   "Mas dari mana saja? Ke mana saja selama ini?" tanya Mama dengan suara setengah menahan tangis.

   "Ah, sudahlah! Kamu tak perlu tahu!" Papa menjawab dengan kasar.

   "Kau pikir aku tidak tahu, Mas? Selama ini kamu ke rumah perempuan itu 'kan?" Mama mulai menangis. "Aku sudah tahu semuanya, Mas ...."

   "Kalau kamu sudah tahu, lalu mau apa?" bentak Papa keras-keras.

   "Aku minta cerai, Mas!" teriak Mama dalam tangis.

   Cerai .... Aku rasa itu adalah kata paling buruk yang pernah kudengar. Hanya dalam sekian detik, tubuhku seperti dipreteli tanpa ampun. Kesadaranku dibius menuju suatu ruang hampa antara sakit dan tidur. Mungkin pikiranku sedang bekerja bagaimana merespon hal ini. Aku membeku. Terbelalak dan diam mematung.

   "Kalau itu yang kamu mau," Papa terdengar menarik jaket yang ada di sebuah gantungan dengan paksa, "terserah!"

   Pintu kamar dibuka dengan barbar. Tangan Papa yang kasar dan besar mungkin saja hampir mematahkan pintu tersebut. Aku segera bersembunyi agar tidak ketahuan Papa. Kulihat Papa berlalu dengan jaket kulit berwarna cokelat miliknya. Dia pergi tanpa menoleh sedikitpun dengan motornya.


   Apa yang baru saja kulihat? Benarkah ini? Ah, konyol sekali. Hal paling tragis dan perih dalam hidupku hanya terjadi dalam beberapa detik saja. Dan, itu amat mengacaukan segalanya! Sekarang aku masih bersembunyi di balik dinding sambil berusaha mengumpulkan kesadaran dan keutuhan fisikku. Ketika pikiran dan jiwaku telah mencerna segala yang terjadi dengan menyeluruh, respon pertamaku adalah tiba-tiba aku tersedu. Air mengalir. Dari mataku. Spontan saja. Kudengar di dalam kamar, Mama juga menangis. Kuangkat kaki. Pergi ke kamar. Batal niatku untuk makan ikan goreng dan sambal terasi.

   Esok hari, dengan mata tampak sembap dan merah, Mama melepasku ke sekolah. Tetap dengan senyuman. Padahal kemarin Mama menangis. Sekarang dia bisa tersenyum di hadapanku. Ah ....

   Sebenarnya aku malas berangkat ke sekolah. Pikiranku sedang kacau. Kejadian kemarin seperti video berjalan di kepalaku. Tak henti-henti mengganggu. Aku menangis semalaman. Dan, aku merasa payah sebagai lelaki. Tak tahu harus berbuat apa. Daya macam apa yang kumiliki sebagai anak lelaki kelas dua SD untuk menghentikan perceraian orang dewasa?

   Ah, anak kecil tak perlu berbuat apa-apa. Mereka harus menerima. Menerima tanpa bisa menolak. Menerima apa yang tak mereka ingini. Menerima lahir begitu saja di dunia dan tiba-tiba menghadapi masalah. Masalah orang-orang dewasa yang sebenarnya bukan masalah anak kecil.

   Selama beberapa waktu kehidupan kami berjalan normal. Atau, kelihatan normal. Aku tak tahu letupan macam apa yang terjadi dalam diri Mama. Kulihat, dia sama seperti biasanya. Hanya matanya tampak sembap dan merah.

   Lalu hari itu mengubah segalanya.

   Papa datang. Kupikir untuk pulang. Beberapa lama Papa di dalam kamar. Sedangkan Mama duduk santai membaca majalah di ruang tamu. Bagaimana mereka bisa sedingin ini? Perang dingin yang amat ekstrem.

   Aku duduk gelisah di ruang tengah, penghubung ruang tamu dengan bangunan belakang yang salah satunya berisi kamar Mama dan Papa. Apa yang akan terjadi setelah ini? Hal buruk lagikah? Mengapa mereka tak saling berbicara? Aku cemas. Benar-benar cemas.

   Tampak Papa keluar dengan menenteng koper abu-abu miliknya. Aku tergeragap dan segera bangkit.

   "Papa mau ke mana?" tanyaku khawatir.

   Papa menengok padaku. Dia tersenyum kecil. Sekilas dipandanginya langit-langit. Lalu badannya merendah di depan wajahku.

   "Jaga adikmu baik-baik selama Papa pergi," kata Papa.

   Kedengarannya seperti perpisahan .... Koper itu ... juga persis seperti adegan di mana seseorang akan pergi selama-lamanya. Inikah ucapan perpisahan Papa untukku? Mendadak aku cengeng lagi. Air mata tumpah tak terarah dari mataku. Aku tergugu-gugu tak bisa berucap apapun. Sulit sekali untuk mengucapkan satu saja kata.

   "Papa pergi, ya," kata Papa terakhir kali.

   Kulihat Papa melalui ruang tamu tanpa sedikitpun melihat Mama. Aku mengejarnya dengan histeris. Ingin kuraih tubuhnya. Tapi, Mama menarik tubuhku. Dibawanya aku menjauh dari Papa. Aku meronta-ronta. Menggeliat sekuat tenaga. Kuteriakkan apa pun yang bisa kuteriakkan. Aku menangis sekeras mungkin. Berharap Papa akan menghentikan langkahnya dan berbalik ... untuk memelukku. Tapi, ... Papa berlalu dan tak pernah kembali selamanya.

   Berhari-hari selanjutnya aku marah besar. Aku menangis sepanjang waktu. Ibu berusaha terus membujukku. Pikiranku sudah tak bisa menerimanya. Rasanya, sesuatu di balik dadaku ini sangaaat sakit. Sering kubelai dadaku itu agar sembuh, tapi tak bisa. Dia mengabadi dan tetap bersamaku di setiap waktu.

   Sudah seminggu aku hanya berbaring di kasur dan menangis. Kesakitan batin ini telah merontokkan fisikku. Kelihatannya hanya demam dan pilek. Padahal sesuatu yang parah sedang menimpaku. Rasa sakit yang tak berdarah. Menyerang sukmaku.

   Mama sudah harus bekerja. Sebagai single mom dia harus memenuhi kebutuhan kami semua sendirian. Katanya, Mama akan bekerja menjadi asisten bidan di kampung. Pagi-pagi sekali Mama siapkan sarapan untukku dan adik. Disiapkannya obat di dekatku. Lalu Mama pergi.

   "Adik kusuruh diam di rumah biar bantu kamu," kata Mama sesaat sebelum pergi, "sudah kunasihati dia agar tidak menyusahkanmu."

   Mama menutup pintu.

   Di kamar yang sempit dan gelap, pikiran dan kesedihanku meruak lagi. Hanya ada potongan gambar hitam dan kelabu yang lewat. Dukacita meninggi dan memakanku. Aku tenggelam dalam perutnya dan terasa semakin gila. Semakin jatuh, semakin merosot, semakin hitam. Tak bisa kulihat apa-apa lagi.

   Kulihat dekat mejaku ada kotak pensil. Aku bangkit dan meraihnya. Kubuka. Ada sebuah silet kecil di sana. Harus segera kusingkirkan hitam pekat yang meluberi pikiranku. Dengan silet ini, akan kuakhiri segalanya.

   Maafkan aku, Ma, Pa, dan Adik. Maafkan aku. Sungguh tidak bisa kulanjutkan hidup. Nyeri di dadaku ini, biar kuakhiri saja. Biar kuselesaikan semua ini dengan sekali gores.

   Silet kutempelkan pada pergelangan tangan kiri. Kuambil nafas dalam-dalam. Selamat tinggal dunia. Selamat tinggal semua.

   Sreeet!!!

   Aku menoleh ke samping. Baru saja adikku membuka pintu kamar. Matanya yang bulat dan ceria menatapku. Sontak kusembunyikan silet sesegera mungkin.

   "Kakak sedang apa? Sudah makan?" tanyanya sambil menghampiriku.

   Suara itu, ah, suara itu! Suara yang manja dan menggemaskan. Adikku, oh, adikku. Gadis kecilku yang lugu.

   Dia mendekat padaku. Dinaikinya kasur dan segera saja tangan-tangan kecilnya meraihku. Memelukku. Senyumnya terus mengembang. Badannya, dunianya yang kecil, menghangatkanku.

   "Kakak cepat sembuh!" ujarnya mantap.

   Kutatap bola matanya. Sungguh aneh! Ketika aku tidak memiliki alasan untuk bahagia, ketika aku tidak memiliki alasan untuk hidup, ketika aku benar-benar putus asa—kebahagiaan yang kulihat pada mata orang lain yang kucintai tampak begitu membahagiakanku. Kusadari bahwa selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku hanya mementingkan diriku sendiri. Padahal harus ada yang kubahagiakan. Adikku. Dia harus tumbuh sebagai gadis yang bahagia. Dan, aku harus tetap hidup untuk itu. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku.

   Kupeluk adikku erat-erat. Kakakmu ini, sungguh kakakmu ini, telah sembuh, Dik.

20.34.02.08.2019

No comments:

Post a Comment