Sisi Pandang Lain

Memahami Sesuatu dari Perspektif yang Berbeda

Saturday, August 3, 2019

Anak Ustad Yusuf Mansur Wida Yang Lagi Viral, Gak Pacaran Kok Foto Berdua?

 

Belakangan ini salah satu publik figur, seorang pendendang shalawat yang tampan, kerap disorot publik. Semua itu karena foto selfienya bersama seorang anak ustad termasyhur di negeri ini. Foto-foto yang diunggah ke medsos tersebut menuai banyak komentar.

Komentar yang umum dilontarkan adalah cap "m u n a f i k" yang disematkan pada mereka. Bagaimana tidak? Keduanya adalah dua anak yang tumbuh di lingkungan relijius berdasarkan nilai-nilai islami. Dan, mereka sendiri percaya bahwa pacaran itu dosa atau haram. Tapi, mereka justru mengunggah foto-foto kedekatan mereka. Tidak pacaran, tapi kok foto berdua? Kok berduaan terus? Kok dekat?

Saya akan coba menguraikan pandangan saya tentang hal ini.
Pertama, mereka lahir dalam lingkungan religius yang mau tak mau menuntut mereka untuk bersikap religius juga. Entah terpaksa, sukarela, atau pasrah saja, mereka menjadi tokoh milenial yang religius.

Karena hal itu, mereka harus memakan dogma yang diajarkan pada mereka (dalam hal ini ajaran agama Islam). Salah satu dogma tersebut adalah larangan berpacaran. Mereka berusaha memenuhi larangan itu agar mendapat prestise "anak yang sholeh", "anak yang patuh pada perintah Tuhan", dan segala macam kemuliaan ilusif yang mereka dambakan.

Di sisi lain, naluri remaja mereka berkembang. Kebutuhan ingin dicintai. Rasa ingin memiliki. Mereka ingin ada seseorang di dekatnya untuk saling berbagi kasih. Dan itu mereka wujudkan dalam bentuk selfie berdua. Jalan-jalan berdua. Ngobrol berdua.

Sebenarnya itu normal-normal saja. Wajar. Tapi, menjadi tak wajar ketika mereka adalah tokoh islami yang sebelumnya tidak pro pacaran.

Masyarakat kita sekarang ini sudah muak dengan kepalsuan. Muak dengan penceramah yang ternyata makelar politik. Muak dengan tokoh agama yang ternyata memihak otoritas. Muak dengan ustad yang ceramahnya cuma berisi kebencian. Masyarakat kita sudah muak dengan KEPALSUAN. Dan, polemik tentang pendendang shalawat dan anak ustad ini menambah daftar kemuakan itu. Ujungnya mereka diteriaki "m u n a f i k".

Memang, mereka sendiri telah termakan dogma yang dianutnya. Tapi, bagaimanapun juga mereka adalah korban. Korban dari lingkungan. Korban dari dogma. Korban dari popularitas. Mereka belum bisa membuka mata saat dilepas ke rimba raya. Lalu seseorang menuntunnya ke mana dia mau.

Dan, tak semua orang berani jujur pada diri sendiri. Jujur bahwa mereka memiliki naluri. Bahwa mereka ingin mencintai. Mereka malah tutup-tutupi, yang membuat ini terkesan munafik. Padahal kalau saja mau jujur, setidaknya tak ada dua muka di antara kita?

08.40.03.08.2019

4 comments: