Sisi Pandang Lain

Memahami Sesuatu dari Perspektif yang Berbeda

Sunday, December 25, 2016

Mapan Dulu baru Nikah, atau Nikah Dulu baru Mapan ?

Menikah boleh dibilang adalah sebuah keniscayaan, dimana setiap insan yang “normal” di dunia ini pasti pernah membayangkan bahwa suatu hari nanti akan tiba waktunya ia duduk berdua di pelaminan bersama sang pujaan hati.


Pelaminan di sini tidak saya artikan sebuah panggung atau dekorasi yang mewah plus terbentang karpet merah, tapi pelaminan saya artikan sebagai sebuah moment dimana sepasang suami istri saling duduk berdampingan mengucap janji suci selepas melakukan ijab qabul, atau selepas diberkati bila dalam agama non Islam.


Lalu mengapa saya menyebutknya keniscayaan ?
Karna entah mengapa sebagian besar orang di planet bumi ini yakin seyakin yakinnya bahwa suatu hari nanti ia akan bertemu sesesorang yang ia percaya sebagai “jodohnya” dan kemudian diajak untuk melakukan “ritual sakral” yang disebut pernikahan.  Padahal.., belum tentu pernikahan itu terjadi.  Bisa saja kita mati muda, atau tidak ada seseorang yang mau menikah dengan kita.  Kemungkinan itu terbuka lebar, tapi meskipun begitu mayoritas dari kita sangat yakin suatu hari nanti bakal menikah. Manusiawi ! ya, barangkali sifat manusiawi kita yang membuat alam bawah sadar kita seolah melihat bahwa kita sudah menikah, namun kapan masanya masih belum jelas. Wallahu ‘alam.

Pertanyaan yang sering menghantui para lelaki bujang adalah mapan dulu baru nikah ? ataukah nikah dulu baru mapan ?
Paradoks ! ya itulah paradoks bagi para lelaki. Di satu sisi ia masih ingin merintis karir atau usaha, namun di sisi lain ia dihadapkan pada situasi kekasih sudah “ngebet” pengen dinikahi.  Atau bisa juga karna faktor usia yang sudah menuntut untuk secepatnya menikah, biasanya orang tua yang sudah “rewel” ingin segera menggendong cucu.

Lalu yang manakah yang lebih ideal ? Nikah setelah Mapan atau Mapan setelah Nikah ?
Jawabnya semuanya SAMA-SAMA IDEAL ! tergantung pribadi diri kita sendiri yang mengetahui rumus mana yang terbaik.  Sebuah rumus tidak selalu cocok diterapkan untuk setiap orang.
Bagaimana kita mengetahui rumus yang “pas” untuk diri kita ?
Pertama, Kita harus membuat definisi sendiri tentang arti “mapan” itu. Karna istilah mapan adalah multitafsir dan multidimensi.  Bagi sebagian orang mapan bisa diartikan :
1.      Memiliki pekerjaan dan gaji tetap
2.      Memiliki kendaraan
3.      Memiliki rumah
4.      Memiliki tabungan, dll
Dengan semua hal di atas orang percaya “lebih mudah” menjalani bahtera rumah tangga yang bahagia.  Meskipun ketika memiliki semua hal di atas tidak menjadi jaminan kebahagiaan namun setidaknya secara “logika” kriteria di atas bisa kita terima.
Ada yang mengartikan “mapan” tidak se-ribet di atas, sebagian orang mapan dipahami sebagai keadaan ia sudah memiliki pekerjaan yang tetap, itu saja !

Kedua, Setelah memilih definisi “mapan” menurut diri sendiri. Apakah sudah memiliki seperti nomer 1 s/d 4 seperti di atas, ataukah hanya memiliki sebagiannya, atau hanya salah satunya, dan ataukah hanya memiliki pekerjaan saja. Sekarang saatnya menyamakan persepsi dengan calon pasangan hidup.

Calon pasangan harus sepakat, minimal mau mengerti definisi “mapan” kita itu seperti apa.  Jangan sampai nanti akan ada kekecewaan yang berbuntut pertengkaran lebih parahnya lagi perceraian “hanya” karna pasangan merasa tidak nyaman dengan biduk rumah tangga yang dijalani berdua gara-gara kenyataan tidak seindah yang dibayangkan.

Ketiga, Bertanya kepada diri sendiri apakah saat ini sudah bisa disebut mapan ataukah belum mapan.  Bila memang belum mapan dan berharap suatu saat nanti bisa mapan maka perlu membuat beberapa daftar pertanyaan untuk dijawab sendiri, seperti : 
-       Berapa lama target waktu yang kamu butuhkan untuk mendapatkan predikat “mapan” itu ?
-       Apakah engkau sudah menanyakan kepada calon pasanganmu, apakah ia menginginkan semua itu sebelum engkau nikahi ?

Bila pertanyaan nomer 1 kita tidak bisa menjawab maka lupakanlah rumus “mapan dulu baru nikah” !  Karna sudah pasti itu hanya akan melewatkan kesempatan bersama dengan calon pasangan yang sudah siap dinikahi, karna kita tidak pernah tahu kapan masanya itu kemapanan didapat.

Pertanyaan nomer 2 wajib untuk didapat jawabannya.  Jangan sampai kita mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak urgen (mendesak).  Komunikasi dan keterbukaan dengan calon pasangan sangat penting.  Alih-alih ingin membahagiakan calon pasangan malahan bukan itu yang pasangan inginkan.  Bisa jadi pasangan ingin meraih dan memperjuangkan segala sesuatu itu secara bersama-sama. Nah Loh !!   rugi kan kita harus ngejar setoran..

Keempat, Kita harus membuat hitung-hitungan kasar atau berkonsultasi dengan rekan atau saudara yang sudah terlebih dahulu terjun bebas di lembah rumah tangga.  Apa saja tanggung jawab kita sebagai manajer rumah tangga secara materiil maupun moril
Belanja sehari-hari, kebutuhan pribadi istri, kebutuhan gizi untuk anak semenjak masih janin, kegiatan sosial di masyarakat, dll.  Semua itu harus terukur dengan kemampuan kita.

Banyak di antara calon pasangan yang tidak secara matang mempertimbangkan konsukuensi dari sebuah pernikahan.  Hanya berdasar perasaan cinta ala romeo dan juliet  lantas buru-buru memutuskan untuk menandatangani buku suami istri terbitan KUA.

Perasaan cinta atau suka yang tanpa didasari komitmen dan kesadaran serta pemahaman apa itu arti sebuah pernikahan sudah bisa dipastikan akan berhujung pada perasaan hambar setelah datang masa kadaluarsa cinta itu sendiri, Dan tidak menutup kemungkinan akan timbul rasa bosan, dan akhirnya saling muak, sudah bisa ditebak endingnya yakni perceraian.

Sudah cukup banyak contoh yang bisa kita jadikan ibrah atau pelajaran.  Mereka yang dulunya baik-baik saja saat pacaran bertahun-tahun akhirnya kandas rumah tangganya gara-gara faktor kesulitan ekonomi atau karna hubungan yang tidak bisa lagi mesra karna salah satu atau bahkan keduanya sibuk sendiri-sendiri dalam pekerjaannya yang baru dirintis setelah menikah.

Empat hal di atas seharusnya sudah bisa dijadikan acuan untuk kita memilih rumus mana yang tepat untuk kita pakai. Mapan dulu kah ? atau Nikah aja dulu.

Laki-laki yang mapan mungkin tidak akan pernah merasakan tersayatnya hati ketika istri yang lagi hamil dan sedang nyidam meminta sesuatu tapi sebagai suami tidak sanggup menuruti. Namun laki-laki yang sudah mapan sebelum menikah juga tidak akan pernah merasakan “nikmatnya” tertatih dalam berjuang bersama istri dan si jabang bayi.

Laki-laki mapan juga tidak pernah merasa khawatir tidak bisa mencukupi dan membahagiakan pasangan, Tapi laki-laki mapan belum pernah tahu setangguh apa pasangan ketika diajak berjuang dalam kesulitan.

So..,, tinggal kita pilih yang mana, Mapan dulu baru Nikah atau Nikah dulu baru Mapan.  Semua ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

1 comment:

  1. nikah dulu baru mapan mas, kalo mapan dulu prosesnya bisa lebih lama

    ReplyDelete