Terpuruknya nilai–nilai pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi internal Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh barat yang pada masa lalu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan Islam. Pertama faktor internal yaitu, faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat memerlukan satu system yang betul – betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia – manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, dan beriman kepada Allah. Kedua faktor eksternal adanya kontak Islam dengan barat juga merupakan faktor terpenting yang bisa kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan phragmatik umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada barat, sehingga ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir.
PEMBAHARUAN ISLAM
DI INDONESIA
M
A K A L A H
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Makul SPPI
Dosen Pengampu : ..................................
Disusun
Oleh :
1. ........................................
2. ..........................................
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM
.......................................................
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah banyak memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita umatnya.
Rahmat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada jungjunan kita, pemimpin
akhir jaman yang sangat dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah yang berjudul “Pembaharuan
Islam di Indonesia”
ini sengaja di bahas karena sangat penting untuk kita khususnya sebagai
mahasiswa yang berada di jurusan Pendidikan Agama Islam. Banyak sekali penomena-penomena
yang terjadi di masyarakat terkait masalah agama.
Untuk itu kita sebagai mahasiswa yang berfungsi sebagai pengabdi di masyarakat
harus dapat memberikan pengarahan agar masyarakat lebih mengenal dan memahami
dari bab yang kami bahas ini.
Selanjutnya, penyusun mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan-pengarahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Demikian, semoga makalah
ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya semua yang membaca makalah
ini.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Pati, November 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA
PENGANTAR ……………………………………………………………….…. ii
DAFTAR
ISI ………………………………………………………………..………….. iii
BAB I PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
………………………………………………….……………….
. 1
- Rumusan
Masalah
…………………………………………………….…………
1
- Tujuan
Penulisan ………………………………………………………….……
2
BAB II PEMBAHASAN
- Hakikat Makna Pembaruan Islam……………………….
…………………………. 3
- Landasan Bagi Pembaruan Islam
………………………………………….……….. 4
- Perkembangan Ajaran Islam Pada Masa Pembaruan
…... ………………………. 10
- Tokoh-Tokoh Pembaruan Islam dan Pemikirannya
……………………………
11
- Tujuan Pembaruan dalam Islam
…………………………………………………13
- Ijtihad sebagai Kunci Pembaruan Islam
………………………………………… 14
BAB III KESIMPULAN /
PENUTUP ……………………………………………. …. 15
BAB IV DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terpuruknya nilai–nilai pendidikan
dilatar belakangi oleh kondisi internal Islam yang tidak lagi menganggap ilmu
pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus diperhatikan.
Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan secara
komprehensif oleh barat yang pada masa lalu tidak pernah mengenal ilmu
pengetahuan.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang mendorong
terjadinya proses pembaharuan Islam. Pertama faktor internal yaitu, faktor
kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat memerlukan satu system yang betul –
betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia – manusia muslim
yang berkualitas, bertaqwa, dan beriman kepada Allah. Kedua faktor eksternal
adanya kontak Islam dengan barat juga merupakan faktor terpenting yang bisa
kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa
perubahan phragmatik umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada
barat, sehingga ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa
terminimalisir.
Dalam makalah ini, kami lebih menekankan pada makna
pembaharuan beserta landasan dan tujuan pembaharuan Islam.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, kami membatasi masalanya sebagai berikut
:
- Apa hakikat makna pembaruan Islam ?
- Apa landasan bagi pembaruan Islam?
- Bagaimana perkembangan ajaran Islam pada masa pembaruan ?
- Siapa tokoh-tokoh pembaruan Islam dan pemikirannya ?
- Apa Tujuan Pembaruan dalam Islam ?
- Apakah Ijtihad sebagai Kunci Pembaruan
Islam ?
C. Tujuan penulisan makalah
Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
penulisan ini diarahkan untuk mengetahui :
1.
Hakikat Makna Pembaruan
Islam
2.
Landasan Bagi Pembaruan
Islam
3.
Perkembangan Ajaran
Islam pada Masa Pembaruan
4.
Tokoh-tokoh Pembaruan
Islam dan Pemikiranya
5.
Tujuan Pembaruan dalam
Islam
6.
Ijtihad sebagai Kunci
Pembaruan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Makna Pembaruan Islam
Dalam kosakata “Islam”, term pembaruan
digunakan kata tajdid, kemudian muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki
relevansi makna dengan pembaruan, yaitu modernisme, reformisme, puritanis-me,
revivalisme, dan fundamentalisme.
Di samping kata tajdid, ada istilah lain
dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata islah.
Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai “pembaharuan”, dan islah sebagai
“perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi
yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta
praktek-prakteknya dalam komunitas kaum muslimin.
Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan
dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental
ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk
mengubah, memodifikasi, ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam
supaya sesuai dengan selera jaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran
atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan
perkembangan, serta semangat jaman. Terkait dengan ini, maka dapat dipahami
bahwa pembaruan merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan
sosial.[1]
Senada dengan hal di atas, Din Syamsuddin
mengatakan bahwa pembaruan Islam merupakan rasionalisasi pemahaman Islam dan
kontekstualisasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan. Sebagai salah satu
pendekatan pembaruan Islam, rasionalisasi mengandung arti sebagai upaya menemukan
substansi dan penanggalan lambang-lambang, sedangkan kontekstualisasi
mengandung arti sebagai upaya pengaitan substansi tersebut dengan pelataran
sosial-budaya tertentu dan penggunaan lambang-lambang tersebut untuk membungkus
kembali substansi tersebut. Dengan ungkapan lain bahwa rasionalisasi dan
kontekstualisasi dapat disebut sebagai proses substansi (pemaknaan secara
hakiki etika dan moralitas) Islam ke dalam proses kebudayaan dengan melakukan
desimbolisasi (penanggalan lambang-lambang) budaya asal (baca: Arab), dan
pengalokasian nilai-nilai tersebut ke dalam budaya baru (lokal). Sebagai proses
substansiasi, pembaruan Islam melibatkan pendekatan substantivistik, bukan
formalistik terhadap Islam.[2]
B. Landasan Bagi Pembaruan Islam
Sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini
bahwa pembaruan Islam merupakan suatu keharusan bagi upaya aktualisasi dan
kontekstualisasi Islam. Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan yang perlu
dijawab adalah hal-hal apa saja yang dapat dijadikan pijakan (landasan) atau
pemberi legitimasi bagi gerakan pembaruan Islam (tajdid). Di antara landasan
dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi upaya pembaruan Islam adalah landasan
teologis, landasan normatif dan landasan historis.[3]
- Landasan
Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide
tajdid berakar pada warisan pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut
adalah landasan teologis yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid
(pembaruan Islam). Selanjutnya — masih menurut Achmad Jainuri—bahwa landasan
teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah
agama universal (univer-salisme Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki
misi rahmah li al-‘alamin, memberikan rahmat bagi seluruh alam. Universalitas
Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan, mengatur
seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik berhubungan dengan habl min Allah
(hubungan dengan sang khalik), habl min al-nas (hubungan dengan sesama umat manusia),
serta habl min al-‘alam (hubungan dengan alam lingkungan). Dengan terciptanya
harmoni pada ketiga wilayah hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan
hidup sejati di dunia dan di akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi
duniawi semata, melainkan duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama.
Konsep universalisme Islam itu
meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap waktu, tempat, dan semua
jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun non Arab dalam tingkat yang sama,
dengan tidak membatasi diri pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok
tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai universalisme itu tidak bisa
dibatasi oleh formalisme dalam bentuk apapun.
Universalisme Islam juga memiliki makna
bahwa Islam telah memberikan dasar-dasar yang sesuai dengan perkembangan umat
manusia. Namun demikian, tidak semua ajaran yang sifatnya universal itu
diformulasikan secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karenanya,
diperlukan upaya untuk menginterpretasikannya agar sesuai dengan segala
tuntutan perkembangan sehingga konsep universalitas Islam yang mencakup semua
bidang kehidupan dan semua jaman dapat diwujudkan, atau diperlukan upaya
rasionalisasi ajaran Islam.
Senada dengan hal di atas, Din Syamsudin
mengatakan bahwa watak universalisme Islam meniscayakan adanya pemahaman selalu
baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan manusia yang selalu berubah. Islam
yang universal —shalih li kulli zaman wa makan— menuntut aktualisasi
nilai-nilai Islam dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak
lain dari upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat jaman.
Hakikat Islam yang rahmah li al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan
semangat jaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan. [4]
Selanjutnya juga dikatakan bahwa
pencapaian cita-cita kerahma-tan dan kesemestaan sangat tergantung kepada
penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong kehidupan yang
lebih baik dan lebih maju. Din Samsudin mengatakan bahwa keuniversalan
mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal justru karena mampu
menampilkan ide dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama
terakhir yang diturunkan Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw
sebagai seorang rasul Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin
bahwa Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia;
yang berarti pasca Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan
diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu
yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup
sekalian agama yang diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap,
sempurna, dan mencakup segala-galanya; tidak ada satupun persoalan yang
terlupakan dalam al-Qur’an. Keyakinan yang sama juga terhadap keberadaan Nabi
Muhammad Saw sebagai Nabi akhir jaman (khatam al-anbiya’), yang tidak akan
lahir (diutus) lagi seorang pun Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah
yang dibawa Muhammad diyakini sebagai risalah yang lengkap dan sempurna.
Menurut Achmad Jainuri bahwa keyakinan
akan Muhammad sebagai Nabi penutup hendaknya dipahami bahwa berhentinya fungsi
kenabian bukan berarti terputusnya petunjuk Tuhan kepada umat manusia. Kondisi
ini mengacu pada ide bahwa setelah fungsi ke-Nabi-an Muhammad selesai, secara
fungsional, peran ulama dipandang sangat penting untuk memelihara dinamika
ajaran Islam. Hal ini dipandang tidaklah berlebihan karena ulama adalah pewaris
para nabi (al’ulama’ waratsah al-anbiya’). Dari kalangan ulama itulah muncul
para mujaddid yang secara fungsional memelihara dinamika ajaran Islam yang
dibawa oleh Muhammad Saw sebagai pengemban risalah terakhir dari Tuhan. Dengan
perkataan lain bahwa kontinuitas petunjuk agama Wahyu dari Nabi Adam hingga
Muhammad melalui para Nabi, sedangkan dari Muhammad ke penerusnya melalui para
mujaddid yang secara institusional dimanifestasikan dalam berbagai ragam
pemikiran serta gerakan tajdid.
- Landasan
Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam
kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an
maupun al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi
pelak-sanaan tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi
keharusan melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dluha: 4. “Sesungguhnya
yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah
surat ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada
suatu kaum sehingga mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa
untuk mengubah status umat dari situasi rendah menjadi mulia dan terhormat,
umat Islam sendiri harus berinisiatif dan berikhtiar mengubah sikap mereka,
baik pola pikirnya maupun perilakunya. Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan
pembaru dalam masyarakat harus selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat
melakukan mekanisme penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.
Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita
temukan adanya teks hadis yang menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada
umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbarui (pema-haman)
agamanya”. Menurut Achmad Jainuri, dikalangan para pakar terdapat perbedaan
interpretasi mengenai kata ‘ala ra’si kulli mi’ati sanah (setiap awal
abad) ini berkaitan dengan saat munculnya sang mujaddid. Sebagian lain
mengkaitkan dengan tanggal kematian. Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan
biografi dalam Islam yang biasanya hanya menunjuk tanggal kematian seseorang.
Jika arti kata tersebut dikaitkan dengan tanggal kelahiran, maka sulit dipahami
karena sebagian mereka —yang disebutkan dalam daftar literatur sejarah Islam—
telah meninggal dunia pada awal abad, yang berarti bahwa mereka belum melakukan
pembaruan. Atas dasar ini, maka sebagian lagi memahami dalam pengertian yang
lebih longgar dan menyatakan bahwa yang penting mujaddid yang bersangkutan
hidup dalam abad yang dimaksud. Terlepas dari adanya perdebatan sebagaimana di
atas (dalam memaknai awal abad), yang jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki
landasan normatif dalam teks hadis Nabi.
- Landasan
Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi
Muhammad masih ada dan pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang
berpusat di Makkah dan Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan.
Semua penganutnya berkata: “sami’na wa atha’na”. Dalam perkembangannya,
Islam baik secara etnografis maupun geografis menyebar luas, dari segi
intelektual pun membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu
menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih,
ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad
semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala
ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia yang cemerlang,
sampai mencapai puncaknya di abad XII-XIII M, di masa inilah, ilmu pengetahuan
ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang agama maupun dalam
bidang non agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim dihasilkan. Mereka
telah bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga terbina apa yang
kemudian dikenal sebagai kebudayaan Islam.
Setelah melalui kurun waktu lebih kurang
lima abad sampai ke puncak kejayaannya, sejarah kemajuan Islam mengalami
kemandekan; Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi
masa kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan
dengan taklid yang merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang
terdalam pada abad ke XVIII. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa
terjadi, di mana dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad
XIII M (peralihan ke abad XIV M) Ibn Taimiyah telah tampil membendung-nya
(melakukan pembaruan).
Pembaruan yang dilakukan
oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga sasaran utama yaitu, sufisme, filosof
yang mendewakan rasionalisme, teologi asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada
kehendak Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari
ajaran Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada
umat Islam agar kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta memahaminya. Dalam
perkembangan sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca Ibnu Taimiyah terus
mengalami dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami beberapa variasi
corak dan penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks waktu, tempat, dan
problem yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu sendiri dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-modern dan gerakan
pembaharuan pada masa modern.
Gerakan pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu
Taimiyah), mengambil bentuknya terutama pada abad XVII dan XVIII M. Sementara
itu, gerakan modern terutama dimulai pada saat jatuhnya Mesir di tangan
Napoleon Bonaparte (1798-1801 M), yang kemudian menginsafkan umat Islam tentang
rendahnya kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta memunculkan
kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan.
Walaupun gerakan pembaruan Islam secara
garis besarnya terbagi dalam dua batasan dekade yaitu pra-modern (abad XVII dan
XVIII M) dan modern (mulai abad XIX M), tetapi sebagaimana dikemukakan oleh
Fazlur Rahman bahwa gerakan pembaruan yang dilancarkan pada abad tersebut pada
dasarnya menunjukkan karakteristik yang sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah
yang dipandang sebagai bapak tajdid, yaitu gerakan-gerakan pembaruan tersebut
mengedepankan rekontruksi sosio-moral masyarakat Islam sekaligus melakukan
koreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan masyarakat.
Adanya karakteristik yang sama pada
gerakan-gerakan pembaruan Islam, baik pra-modern maupun modern tersebut, dapat
dilihat misalnya pada abad XVII M. Syaikh Ahmad Sirhindi telah meletakan dasar
teori reformasi yang sama dengan Ibnu Taimiyah, juga menekankan pelaksanaan
ajaran syariah dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian gerakan wahabiah pada abad
XVIII M yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab dipandang lebih radikal dan
tidak mengenal kompromi terhadap semua pengaruh yang “non Islam” terhadap amal
ibadah. Gerakan-gerakan serupa juga muncul di kawasan dunia Islam lainnya. Shah
Waliyullah di India abad XVIII M, juga melakukan hal yang sama dengan apa yang
dilakukan oleh Syaikh Ahmad dalam sikapnya terhadap ajaran sufi yang
menyimpang. Namun, yang membedakannya dengan pendahulunya, gerakan Shah
Waliyullah juga memasuki dunia kehidupan sosial politik, di mana ia menentang
ketidakadilan sosial ekonomi yang menimpa rakyat, mengkritik beban pajak yang
ditanggung oleh kaum petani, serta menyerukan kaum muslimin untuk menegakkan
sebuah negara teritorial di India yang menyatu ke dalam bentuk sebuah
kekaisaran yang bersifat internasional.
Gerakan pembaruan pra-modern dengan dasar
“kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijtihad” sebagaimana di atas,
juga me-warnai gerakan pembaruan pada era modern (abad XIX dan XX M). Sebagai
misal, gerakan pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh Muhammad Abduh,
yang dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam dari berbagai
pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan khufarat); kedua, pembaruan
sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan kembali doktrin Islam sejalan
dengan semangat pemikiran modern; keempat, pembelaan Islam terhadap
pengaruh-pengaruh dan serangan-serangan Eropa.
Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas,
menunjukan adanya karakteristik yang sama dengan era sebelumnya, yaitu adanya
purifikasionis-reformis. Apa yang dilakukan Abduh hanya sebagai salah satu
contoh, tentunya dapat ditemukan juga dalam gerakan dan pemikiran yang
dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan dengan kesinambungan
karakteristik gerakan pem-baruan Islam baik pra-modern dan modern, menurut Voll
dapat terlihat pula pada tiga bidang atau tema yang digelorakan, yaitu:
pertama, seruan untuk kembali kepada penerapan ketat al-Qur’an dan Sunnah Nabi;
kedua, keharusan adanya ijtihad; ketiga, penegasan kembali keaslian dan
keunikan pengalaman Qur’an yang berbeda dengan cara-cara sintesa dan
keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.
Uraian di atas menunjukan bahwa ide
pembaruan Islam yang berlandaskan teologis dan normatif, secara historis
menunjukkan relevansi dengan kedua landasan tersebut (teologis dan normatif).
Oleh karenanya, gerakan tajdid (pembaruan Islam) memiliki akar historis yang
kuat sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang
akan datang.[5]
C.
Perkembangan
Ajaran Islam Pada Masa Pembaharuan
Salah satu pelopor pembaharuan dalam dunia islam barat
adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah sangat berpengaruh di Abad KE-19.
Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahabiyah (1703-1787) yang berasal dari Nejed,
Saudi Arabia. Pemikiranya adalah upaya memperbaiki keadan umat Islam dan
merupakan reaksi dari paham tauhid yang terdapat dikalangan Umat Islam saat
itu. Dimana paham-paham tauhid mereka telah tercampur dengan ajaran-ajaran lain
sejak abad ke-13.
Adapun
aliran yang menyeleweng, pada saat itu orang-orang yang sering meminta
pertolongan atau bantuan kepada makam-makam Syeh yang telah meninggal. Adapula
yang meminta pertolongan untuk menyelesaikan masalah sehari hari, meminta anak,
jodoh bahkan ada yang meminta kekayaan. Paham ini menurut paham wahabiyah
termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi di panjatkan kepada Allah.
Masalah
Tauhid merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatianya pada persoalan
ini.
Adapun pokok-pokok pemikiranya adalah:
· Yang harus
disembah hanyalah Allah dan orang-orang yang menyembah selain Allah dinyatakan
Musyrik.
· Kebanyakan
orang islam bukan lagi penganut paham Tauhid yang sebenarnya karena mereka
meminta pertolongan kepada selain Allah, melainkan kepada Syeh, Wali atau
kekuatan gaib. Orang Islam yang berprilaku demikian juga dikatakan musyrik.
· Menyebut
nama Nabi, Syeh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan
syirik.
·
Meminta
syafaat selain kepada Allah juga syirik.
·
Bernazar
kepada selain Allah juga syirik.
·
Memperoleh
pengetahuan selain dari Al-qur’an, Hadis dan Qiyas merupakan kekufuran.
· Tidak
mempercayai kepada Qada’ dan Qadar juga mmerupakan kekufuran.
·
Menafsirkan
Al-qur’an dengan Ta’wil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk
mnegembalikan kemurnian Tauhid tersebut, makam-makam yang banyak dikunjungi
dengan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan lain-lain yang membawa kepada
paham syirik, mereka berusaha menghapuskan paham ini. Pemikiran Muhammad Abdul
Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad
ke-19 adalah:
· Hanya Al
qur’an dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajran Islam. Dan pendapat
ulama’ bukanlah sumber, menurut paham wahabiyah.
·
Taklid
kepada ulama’ tidak dibeanarkan.
·
Pintu
ijtihad senantiasa terbuka tidak tertutup.
D.
Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Islam Dan pemikiranya
1.
Jamaludin Al
afgani (Iran, 1838-turki, 1897)
Salah satu
sumbangan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Sayyid Jamaludin Al Afgani.
Gagasanya mengilhami kaum muslim di Turki, Iran, Mesir dan India. Meskipun
sangat anti imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan
Barat. Ia tidak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan.
Namun, gagasan untuk mendirikan sebuah Universitas yang husus mengajarkan ilmu
pengetahuan yang modern di Turki mengahdapai tantangan yang kuat dari para
ulama’. Pada ahkirnya ia diusir dari Negara tersebut.
2. Muhamada
Abduh (Mesir 1849-1905) dan Muhamad Rasyid Rida (Suriah 1865-1935)
Guru dan
murid tresebut mengunjungi beberapa negara Eropa dan amat terkesan dengan
pengalaman mereka disana. Rasyid Rida mendapat pendidikan Islam tradisisonal
dan menguasai bahasa asing ( prancis dan turki) yang menjadi jalan masuknya
untuk mempelajari ilmu pengetahuan secara umum. Oleh karena itu, tidak sulit
bagi Rida untuk bergabung dengan gerakan pembaruan Al Afgani dan Muhamad Abduh
dan diantaranya melalui penerbitan jurnal Al Urwah Al Wustha yang diterbitkan
diparis dan disebarkan dimesir. Muhamd Abduh sebagaimana Muhamad Abdul Wahab
dan Jamaluddin Al Afgani, berpendapat bahwa masuknya bermacam bid’ah kedalam
ajran Islam membuat umat Islam lupa akan ajran-ajaran Islam yang sebenarnya.
Bid’ah itulah yang menjauhkan masarakat Islam dari jalan yang sebenarnya.
3.
Toha Husain
(Mesir selatan 1889-1973)
Beliau
adalah seorang sejarawan dan filusuf yang sangat mendukung gagasan Muhamad Ali
Pasya. Ia merupakan pendukungg modernism yang gigih. Pengadopsian terhadap ilmu
pengetahuan modern tidak hanya penting dari sudut nilai praktis (kegunaan) nya
saja, tetapi juga sebagai perwujudan suatu kebudayaan yang amat tinggi.
Pendanganya dianggap sekularis karena mengunggulkan ilmu pengetahuan.
4.
Sayyid Qutub
(Mesir 1906-1966) dan Yusuf Al qardawi
Al Qardawi
menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi yag dimaksud
bukan berarti upaya pembaratan dan memiliki batasan pada pemanfaatan ilmu
pengetahuan modern serta penerapan teknologiny, Islam tidak menolaknya bahkan
mendukungnya. Pandangan al Qardawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas kaum
muslmin. Secara umum dunia Islam relative terbuka untuk menerima ilmu
pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan
ini kelak terbukti dan tetap bertahan hingga kini dikalangan muslim. Akan
tetapi, dikalangan pemikir yang ,mempelajari sejarah dan filsafat ilmu
pengetahuan, gagasan seperti ini tidak cukup memuaskan mereka.
5.
Sirsayid
Ahmad Khan (India 18817-1898)
Sirsayid
Ahmad Khan adalah pemikir yang menyerukan saintifikasi masyarakat muslim.
Seperti Al afgani, ia menyerukan kaum muslim untuk meraih ilmu pengetahuan
modern. Akan tetapi, berbeda dengna al Afgani ia melihat adanya kekuatan yang
membebaskan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kekuatan pembebas itu
antara lain, penjelasan mengenai suatu peeristiwa dengan sebab-sebab yang
bersifat fisik materiil. Di barat nilai-nilai ini telah membebaskan orang dari
tahayul dan cengkraman kekuasaan gereja. Kini dengan semangat yang sama Ahmad
Khan merasa wajib membeabaskan kaum muslim dengan melenyapkan unsur yang tidak
ilmiah dari pemahaman terhadap Al qur’an. Ia amat serius dengan upaya ini,
antara lain: menciptakan sendiri metode baru penafsiran Al qur’an. Hasilnya
adalah teologi yang memilki karakter atau sifat ilmiah dalam tafsir Al qur’an.
6. Sir Muhamad
Iqbal (Punjab 1873-1938)
Generasi
awal ke-20 adalah Sir Muhamdad Iqbal marupakan seorang muslim pertama di anak
benua India yang sempat mendalami pemikiran barat modern dan memilki latar
belakang yang bercorak tradisisonal islam. Kedua hal ini muncul dari karya utama
di tahun 1930 yang berjudul the reconstruction of religious thought in islam
(pembangunan kembali pemikiran keagamaan dalam Islam)
E.
Tujuan Pembaruan dalam Islam
Berbicara mengenai tujuan pembaruan Islam,
maka tidak dapat dilepaskan dari misi yang diemban oleh gerakan tersebut.
Menurut Achmad Jainuri bahwa pembaruan Islam memiliki dua misi ganda, yaitu
misi purifikasi, dan misi implementasi ajaran Islam di tengah tantangan jaman.
Bertitik-tolak dari kedua misi di atas,
maka tujuan pokok dari pembaruan Islam adalah: Pertama, purifikasi ajaran
Islam, yaitu mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan pada jaman awal
Islam sebagaimana dipraktekkan pada masa Nabi. Jaman Nabi sebagaimana
digambarkan oleh Sayyid Qutb sebagai periode yang hebat, suatu puncak yang
luar-biasa dan cemerlang dan merupakan masa yang dapat terulang. Terjadinya
banyak penyimpangan dari ajaran pokok Islam pasca Nabi bukan karena kurang
sempurnanya Islam, tetapi karena kurang mampunya untuk menangkap Islam sesuai
semangat jaman; serta dalam konteks ini, banyaknya unsur-unsur luar yang masuk
dan bertentangan dengan Islam sehingga diperlukan adanya upaya untuk
mengembalikan atau memurnikan kembali sesuai dengan orisinalitas Islam. Upaya
ini dapat dilakukan dengan membentengi keyakinan akidah Islam, serta berbagai
bentuk ritual dari pengaruh sesat.
Kedua, menjawab tantangan jaman. Islam
diyakini sebagai agama universal, yaitu agama yang di dalamnya terkandung
berbagai konsep tuntutan dan pedoman bagi segala aspek kehidupan umat manusia,
sekaligus bahwa Islam senantiasa sesuai dengan semangat jaman. Dengan
berlandaskan pada universalitas ajaran Islam itu, maka gerakan pembaruan
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasi-kan ajaran Islam sesuai dengan
tantangan perkembangan kehidupan umat manusia. [6]
F. Ijtihad sebagai Kunci Pembaruan Islam
Untuk mewujudkan kedua tujuan di atas,
maka ijtihad dapat dipandang sebagai metode pokok untuk berjalannya gerakan
pembaruan Islam (tajdid). Statemen ini tentunya tidak terlalu berlebihan karena
pada dasarnya pembaruan Islam akan bermuara kepada aktualisasi, rasionalisasi,
dan kontekstualisasi ajaran Islam di tengah kehidupan sosial, dan semua itu
memerlukan upaya ijtihady.
Aktualisasi di sini berkaitan dengan
bagaimana agar pelaksanaan kehidupan umat tidak menyimpang dari ajaran Islam
sekaligus bagaimana agar makna universalitas Islam dapat terwujud dan
teraktualisasikan dalam semangat jaman sehingga dalam kehidupan sosial, Islam
tidak dijadikan sebagai alasan terjadinya kemunduran dan kelemahan, bahkan
kehancuran. Padahal, hal itu sebenarnya disebab-kan ketidakmampuannya
menerjemahkan Islam dalam tatanan kehidupan yang terus berkembang.
Dalam konteks sejarahnya bahwa ijtihad
telah memberikan sumbangan besar dalam perkembangan pemikiran umat Islam,
khususnya dalam upaya menghadapi persoalan kehidupan sosial. Tentu ijtihad
dalam konteks ini bukan dibatasi dalam hal hukum (syari’ah) semata yang selama
ini banyak dipahami, melainkan yang terpenting bagaimana ijtihad dimaknai
sebagai upaya untuk menilai “ulang” terhadap berbagai warisan keagamaan yang
ada, serta adanya kebebasan untuk menafsirkan kembali sesuai dengan pemikiran
modern.36 Semangat untuk terus menghidupkan ijtihad merupakan salah satu tema
pokok yang selalu digelorakan oleh para pembaru (mujaddidun).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ø
Dari uraian di atas,
dapat diambil kesimpulan penting sebagai berikut: Pertama, pembaruan Islam
(tajdid) merupakan suatu keharusan karena ajaran Islam yang rahmah li al’alamin
serta sebagai agama “pamungkas” menuntut adanya upaya rasionalisasi dan konteks-tualisasi
sesuai dengan semangat jaman. Hal itu karena pada hakikatnya pembaruan Islam
merupakan ikhtiar melakukan rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam
dalam segala ranah kehidupan.
Ø
Kedua, keharusan bagi
upaya tajdid setidaknya memiliki tiga landasan dasar yaitu landasan teologis,
landasan normatif, dan landasan historis. Artinya bahwa gerakan tajdid
dilaksanakan dengan dasar dan pijakan yang kuat.
Ø
Perkembangan
ajaran Islam pada masa pembaharuan yaitu pengembalian kemurnian tauhid
Ø
Tokoh – tokoh
pembaharuan Islam di antaranya : Jamalludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Toha
Husain, Sayyid Qutub, Sir Sayyid Ahmad Khan, Sir Muhammad Iqbal
Ø
Tujuan Pembaharuan
Islam yaitu : purifikasi ajaran agama islam dan untuk menjawab tantangan jaman
Ø
Ijtihad merupakan
kunci pembaruan dalam Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi
Pemikiran dan Geerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Rajawali, 1998.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam
dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina,
1996.
Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran Modern Dalam
Islam, terj. Machnun Husein. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Idris, Zulbadri. “Pembaharuan Islam
Sebelum Periode Modern”, dalam Jurnal Media Akademika, No. 49. Tahun XIV/1998.
Jainuri, Achmad. “Landasan Teologis
Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3. Vol. VI, Tahun
1995.
Tradisi Tajdid dalam Sejarah Islam (bagian
kedua), dalam Suara Muhammadiyah, No. 06/80/1995.
[1] Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam
dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina,
1996.
[3] Jainuri, Achmad. “Landasan Teologis
Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3. Vol. VI, Tahun
1995.
[5] Idris, Zulbadri. “Pembaharuan Islam
Sebelum Periode Modern”, dalam Jurnal Media Akademika, No. 49. Tahun XIV/1998.
[6] Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Geerakan Pembaharuan dalam
Dunia Islam. Jakarta: Rajawali, 1998
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete