Sisi Pandang Lain

Memahami Sesuatu dari Perspektif yang Berbeda

Saturday, March 21, 2020

Mulut Atas Kenyang, Tapi Muluh Bawah Lapar, Gimana Dong?


(Melihat Sisi Lain Kasus Rumah Dihancurkan Karena Selingkuh)

Beberapa hari ini jagat maya kembali berseliweran video penghancuran sebuah rumah senilai ratusan juta. Nggak main-main, eskavator dikerahkan menggaruk langsung sampai rata dengan tanah. Sebelumya juga pernah ada kejadian serupa namun tidak seviral kasus yang ini. Yah, makin hari memang netijen semakin bar-bar kalo soal share yang heboh-heboh. Saya tidak hendak membahas detail kejadian tersebut, tentu mas-mas atau mbak-mbak pasti sudah lihat sendiri kan? Dan jiwa kepo kalian pasti sudah melakukan investigasi internal bahkan gabungan untuk mengulik kronologinya.

Di tulisan ini saya hendak mengajak kawan-kawan pembaca melihat sisi lain dari kasus tersebut, yang mana hampir semua netijen sejauh yang saya pantau--sepakat memvonis si cewek yang salah:brengsek, gatel, dan sumpah serapah lainnya—walau tanpa dikomando.

Ketika ramai kasus ini saya ujug-ujug teringat dengan kasus penggerebekan pasangan selingkuh di daerah saya. Ketika si wanita ditanya pak kades saat disidang di balai desa:
“Kenapa kau selingkuh? Suamimu kerja keras banting tulang di negeri jiran, setiap bulan kau dijatah jutaan rupiah, kok malah selingkuh!” tanya pak kades dengan gaya khas sok-sok berwibawa.
“Mulut atas dikirimin terus (makan kenyang:pen) tapi mulut bawah nggak pernah dikirimin (sang* tak tertolong:pen)” jawab si wanita seperti tanpa beban bersalah dan malu.
Seketika pecah tawa ratusan orang se-balai desa.

Kalau parameter kita logika, bukan norma. Tentu alasan wanita yang selingkuh tersebut ada benarnya. Meskipun nggak 100% benar tapi mengandung kebenaran hatta beberapa persen, dan tidak ada salahnya belajar sisi lain dari itu.

Siapa yang bisa menafikkan kebutuhan biologis? Merujuk berita viral rumah yang dihancurkan tersebut, si suami bekerja di luar Korea Selatan selama bertahun-tahun. Bayangkan bila posisi ia sebagai wanita muda yang masih demen dikeloni. Musim hujan berganti masih saja merana seorang disiksa birahi.

Apa sang* bisa terobati dengan sembako melimpah, kulkas penuh sayur dan buah, memandangi rumah mentereng dari luar, dengan lantai marmer, dengan gorden yang harganya belasan juta per sudut itu? Opsi lain adalah m*sturb*si, tapi tentu masih kurang marem, tidak ada sentuhan! Para wanita pasti paham soal ini. Ditambah lagi ada serangan dari unsur eksternal: yakni rayuan para garangan alias laki-laki yang berhasrat kepada si wanita tersebut entah apa motifnya.

Sialnya, kebanyakan orang mengukur kebahagiaan dari materi alias benda-benda padat tiga dimensi. Punya ini-itu harusnya bahagia, harusnya bersyukur, nggak usah macem-macem!
Wanita bersuami yang selingkuh jelas salah, lha wong wanita baru punya pacar ketahuan selingkuh saja sudah dianjing-anjingkan kok sama cowoknya. Tapi pasti ada sebab musababnya kenapa seseorang itu selingkuh. Mencari kebahagiaan, ya! Mencari kebahagiaan—meskipun sebetulnya lebih tepat disebut mencari kesenangan. Kesenangan dan kebahagiaan tentu berbeda, tapi gampang-gampang susah cari batasannya. Anggap saja seperti dua sisi mata uang. Berbeda tapi satu jua.

Sebagian besar wanita mudah terlena, takjub, kepincut, dan mudah silau: kemewahan, kegantengan macam opa-opa korea, kemapanan, karisma, keromantisan, dan lain-lain. Karena wanita cenderung lebih memanjakan “rasa” daripada “logika”. Dan bila sudah kebacut terlena, bisa gila-gilaan!
Sebagai contoh:bisa anda lihat banyak wanita bersuami yang seolah tanpa beban di akun medsos pribadi pakai foto profil wajah mulus artis-artis korea produk oplas. Sering posting memuja-muja idola K-POPnya. Dan anehnya kebanyakan para laki alias si suami ya cuek-cuek saja, membiarkan istrinya berimajinasi liar begitu. Hal semacam ini tentu bisa menimbulkan perspektif kalau wanita tersebut mudah dirayu dengan modal tampang. Garangan siap menyerang! Atau..

Para emak-emak muda yang mudah meleleh hatinya melihat video-video pasangan romantis yang seliweran di beranda pekbusnya. Membagikan postingan—tidak lupa akun suami di-tag, pakai captionnya: ingin seperti ini…,, alih-alih ingin suami memperlakukannya seperti itu, malah bisa membangun persepsi itu istri kurang perhatian. Garangan siap menyerang?

Stop! Sampai sini saja saya mereview watak wanita, nanti bisa dituduh diskriminasi gender. Haha..
Yang saya tekankan di sini adalah: kita layak belajar dari kasus-kasus seperti itu, yang ribuan jumlahnya, suami merantau luar negeri, istri di kampung ena-ena dengan tetangga sendiri. Harus diantisipasi, setidaknya risiko diminimalir sejak dini. Bisa dengan tidak merantau berlama-lama, bisa dengan mendidik dan mendisiplinkan istri, bisa dengan meminta bantuan saudara atau teman yang di kampung untuk memantau pergerakan sang istri, dan cara-cara lain yang bisa mencegah. Waspada tidak selalu berarti curiga, dan kalaupun curiga tak apa-apa, bukankah curiga wajar dalam cinta?

No comments:

Post a Comment