(Melihat Sisi Lain Kasus
Rumah Dihancurkan Karena Selingkuh)
Beberapa hari ini jagat maya kembali berseliweran video
penghancuran sebuah rumah senilai ratusan juta. Nggak main-main, eskavator
dikerahkan menggaruk langsung sampai rata dengan tanah. Sebelumya juga pernah
ada kejadian serupa namun tidak seviral kasus yang ini. Yah, makin hari memang
netijen semakin bar-bar kalo soal share yang heboh-heboh. Saya tidak hendak
membahas detail kejadian tersebut, tentu mas-mas atau mbak-mbak pasti sudah
lihat sendiri kan? Dan jiwa kepo kalian pasti sudah melakukan investigasi
internal bahkan gabungan untuk mengulik kronologinya.
Di tulisan ini saya hendak mengajak kawan-kawan pembaca
melihat sisi lain dari kasus tersebut, yang mana hampir semua netijen sejauh
yang saya pantau--sepakat memvonis si cewek yang salah:brengsek, gatel, dan
sumpah serapah lainnya—walau tanpa dikomando.
Ketika ramai kasus ini saya ujug-ujug teringat
dengan kasus penggerebekan pasangan selingkuh di daerah saya. Ketika si wanita
ditanya pak kades saat disidang di balai desa:
“Kenapa kau selingkuh?
Suamimu kerja keras banting tulang di negeri jiran, setiap bulan kau dijatah
jutaan rupiah, kok malah selingkuh!” tanya pak kades dengan gaya khas sok-sok
berwibawa.
“Mulut atas dikirimin
terus (makan kenyang:pen) tapi mulut bawah nggak pernah dikirimin (sang* tak
tertolong:pen)” jawab si wanita seperti tanpa beban bersalah dan malu.
Seketika pecah tawa
ratusan orang se-balai desa.
Kalau parameter kita
logika, bukan norma. Tentu alasan wanita yang selingkuh tersebut ada benarnya.
Meskipun nggak 100% benar tapi mengandung kebenaran hatta beberapa persen, dan
tidak ada salahnya belajar sisi lain dari itu.
Siapa yang bisa
menafikkan kebutuhan biologis? Merujuk berita viral rumah yang dihancurkan
tersebut, si suami bekerja di luar Korea Selatan selama bertahun-tahun.
Bayangkan bila posisi ia sebagai wanita muda yang masih demen dikeloni. Musim
hujan berganti masih saja merana seorang disiksa birahi.
Apa sang* bisa terobati
dengan sembako melimpah, kulkas penuh sayur dan buah, memandangi rumah
mentereng dari luar, dengan lantai marmer, dengan gorden yang harganya belasan
juta per sudut itu? Opsi lain adalah m*sturb*si, tapi tentu masih kurang marem,
tidak ada sentuhan! Para wanita pasti paham soal ini. Ditambah lagi ada
serangan dari unsur eksternal: yakni rayuan para garangan alias laki-laki yang
berhasrat kepada si wanita tersebut entah apa motifnya.
Sialnya, kebanyakan
orang mengukur kebahagiaan dari materi alias benda-benda padat tiga dimensi.
Punya ini-itu harusnya bahagia, harusnya bersyukur, nggak usah macem-macem!
Wanita bersuami yang
selingkuh jelas salah, lha wong wanita baru punya pacar ketahuan selingkuh saja
sudah dianjing-anjingkan kok sama cowoknya. Tapi pasti ada sebab musababnya
kenapa seseorang itu selingkuh. Mencari kebahagiaan, ya! Mencari kebahagiaan—meskipun
sebetulnya lebih tepat disebut mencari kesenangan. Kesenangan dan kebahagiaan
tentu berbeda, tapi gampang-gampang susah cari batasannya. Anggap saja seperti
dua sisi mata uang. Berbeda tapi satu jua.
Sebagian besar wanita
mudah terlena, takjub, kepincut, dan mudah silau: kemewahan, kegantengan macam
opa-opa korea, kemapanan, karisma, keromantisan, dan lain-lain. Karena wanita
cenderung lebih memanjakan “rasa” daripada “logika”. Dan bila sudah kebacut
terlena, bisa gila-gilaan!
Sebagai contoh:bisa anda
lihat banyak wanita bersuami yang seolah tanpa beban di akun medsos pribadi
pakai foto profil wajah mulus artis-artis korea produk oplas. Sering posting
memuja-muja idola K-POPnya. Dan anehnya kebanyakan para laki alias si suami ya
cuek-cuek saja, membiarkan istrinya berimajinasi liar begitu. Hal semacam ini
tentu bisa menimbulkan perspektif kalau wanita tersebut mudah dirayu dengan
modal tampang. Garangan siap menyerang! Atau..
Para emak-emak muda yang
mudah meleleh hatinya melihat video-video pasangan romantis yang seliweran di
beranda pekbusnya. Membagikan postingan—tidak lupa akun suami di-tag, pakai
captionnya: ingin seperti ini…,, alih-alih ingin suami memperlakukannya seperti
itu, malah bisa membangun persepsi itu istri kurang perhatian. Garangan siap
menyerang?
Stop! Sampai sini saja
saya mereview watak wanita, nanti bisa dituduh diskriminasi gender. Haha..
Yang saya tekankan di
sini adalah: kita layak belajar dari kasus-kasus seperti itu, yang ribuan
jumlahnya, suami merantau luar negeri, istri di kampung ena-ena dengan
tetangga sendiri. Harus diantisipasi, setidaknya risiko diminimalir sejak dini.
Bisa dengan tidak merantau berlama-lama, bisa dengan mendidik dan
mendisiplinkan istri, bisa dengan meminta bantuan saudara atau teman yang di
kampung untuk memantau pergerakan sang istri, dan cara-cara lain yang bisa
mencegah. Waspada tidak selalu berarti curiga, dan kalaupun curiga tak apa-apa,
bukankah curiga wajar dalam cinta?
No comments:
Post a Comment