Memasuki tahun
akhir sekolah dan sekaligus juga tahun ajaran baru yang sudah menanti di depan
mata, menjadi momen spesial tersendiri bagi anak-anak didik dan juga para orang
tua.
Di saat saat
seperti ini akan menjadi saat yang krusial bagi para orang tua untuk memilihkan
sekolah lanjutan untuk putra putri yang diharapkan bisa menjadi “harapan” untuk
orang tua itu sendiri kelak.
Para orang tua
harus memilih sekolah apa atau mana yang diyakininya bisa membekali putra
putrinya dengan ilmu untuk menghadapi dinamika kehidupan nantinya. Persoalan
“keyakinan” para orang tua inilah yang coba penulis ajak diskusikan dengan para
pembaca yang mungkin juga sebagai seorang tua yang pada tahun ini memiliki anak
yang hendak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Mayoritas orang
tua mungkin terlanjur menaruh keyakinan pada sebuah lembaga pendidikan
katakanlan sebuah sekolah yang bagus.
Penilaian “bagus” di sini tidak penulis coba “biaskan”. Kita sepakati
saja bahwa itu benar-benar sekolah yang bagus. Meskipun pada dasarnya penilaian
bagus itu sendiri subjektif, dipengaruhi oleh banyak faktor, iklan misalnya,
atau stigma yang sudah terbangun selama sekian waktu, meskipun faktanya sekolah
tersebut tidak lebih bagus dari sekolah-sekolah lainnya. Namun di sini kita
sepakati saja bahwa sekolah yang diyakini bagus oleh banyak orang tua itu
memang benar-benar bagus, terbukti secara akademik.
Lalu apa
masalahnya ?
Nah ! disinilah
penulis mengajak pembaca sebagai orang tua atau calon orang tua nantinya
mereset ulang keyakinan tersebut. Kita
harus ingat bahwa sekolah yang bagus belum tentu menjadi sekolah yang
tepat untuk putra putri kita.
Bila penilaian bagus
dan tidaknya sebuah lembaga pendidikan / sekolah dilihat dari segi keterserapan
lulusan sekolah tersebut dalam dunia kerja, atau singkatnya mendapat
pekerjaan, maka ada baiknya kita tengok data pengangguran di bawah ini :
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2015, jumlah penganggur terbuka
mencapai 7,56 juta orang atau 6,18 persen dari angkatan kerja sebanyak
122,4 juta orang.
Data pengangguran
cenderung selalu bertambah setiap tahunnya, karna dapat kita bayangkan sendiri ratusan
ribu bahkan jutaan lulusan sekolah/kuliah di seluruh indonesia yang
memperebutkan lapangan pekerjaan yang relatif tetap jumlahnya, kalaupun ada
pertambahan lapangan pekerjaan jumlahnya tidaklah seberapa. Perlu kita catat
bahwa angka 7,56 juta di atas adalah data dari BPS (Badan Pusat Statistik) yang
90 % dapat dikatakan nyata.
Kembali ke masalah
sekolah, tentu tujuan dari sebuah pendidikan tidaklah hanya sekedar untuk
mendapatkan pekerjaan dari sekolahnya tersebut, tapi tidak bisa dipungkiri sebagian
besar dari kita alasan bersekolah adalah untuk pekerjaan.
Dan kalau
kita mau mempertimbangkan sedikit lebih seksama, maka sekolah yang bagus tidak
lagi menjadi sesuatu yang menggiurkan layaknya semangkuk es buah di tengah
terik matahari.
Sekolah yang
biasa-biasa saja mungkin malah bisa menjadi sekolah yang tepat untuk
putra putri kita menimba ilmu. Ingat !
tingkat inteligensi setiap anak berbeda.
Tidak bisa kita berandai-andai dan membayangkan anak kita bisa persis
sama sukses di prestasi dan karir dengan anak yang lain walau dalam sekolah
yang sama, guru yang sama, dan dalam waktu yang sama juga.
Lebih dalam
lagi mari kita masuk ke ranah personal, masalah dapur kita masing-masing. Ada memang beberapa dan banyak kisah sukses
seorang anak yang berangkat dari keluarga yang kurang berada bisa sampai
mensejahterakan dan mengangkat derajat orang tuanya secara ekonomi dan sosial
lantaran sukses berkarir berkat pekerjaan yang didapat dari ketrampilan atau
ijazah dari sekolahnya, namun kita harus jeli melihat bahwa kebanyakan yang
seperti itu memang dari faktor sang anak lah yang memang cerdas, tangguh, ulet,
rajin, dan pekerja keras. Bisa dikatakan,
sekolah di manapun atau bahkan tidak mengenyam pendidikan formal sekalipun anak
yang seperti di atas (cerdas,ulet, pekerja keras) kemungkinan besar bisa sukses
dalam karirnya.
Lalu, masih
perlukah orang tua terobsesi dengan sekolah yang bagus ? dengan menggelontorkan
banyak biaya, namun hasil yang didapat tidak jauh berbeda bila dengan di
sekolahkan di sekolah yang biasa saja. Di sini penulis tidak bermaksud menafikkan
kwalitas dan metode pembelajaran yang memang bagus, tapi mencoba mengajak
melihat fakta yang ada, bahwa sekolah yang bagus tidak menjamin, bahkan mungkin
malah bisa meredupkan sinar prestasi dan kepercayaan diri sang anak di tengah
persaingan yang ketat, mengingat sekolah-sekolah yang bagus dihuni oleh
anak-anak yang tingkat IQ nya di atas rata-rata.
Apakah tidak
lebih baik memilih sekolah yang tepat ? yang sesuai dengan kemampuan berfikir
anak, kemampuan bersosial, dan kemampuan finansial orang tua, sehingga energi
yang dikeluarkan baik material maupun spiritual lebih tepat guna dan tidak
terbias sia-sia.
Semua kembali
kepada diri kita masing-masing, bagaimana kita memahami arti dari sebuah
pendidikan itu sendiri. Sekedar untuk membekali putra putri kita dengan
ketrampilan akademik atau lebih luas lagi, menjadikan pendidikan sebagai sebuah
proses pencarian jati diri anak menjadi pribadi yang lebih bijak dalam
menyikapi dinamika kehidupan.
No comments:
Post a Comment