Pagi yang terasa biasa, masih tanpa ayam berkokok seperti suasana di
desa, enggan rasanya aku bangun untuk mandi dan bersiap ke kantor, rasa ngantuk
masih melanda karna semenjak kembali dari masjid tadi malam aku tak bisa
memejamkan mata sampai fajar tiba, dan baru bisa terlelap setelah sholat
shubuh.
Melihat Pak I’ing dan yang lainnya yang sudah bersiap akhirnya aku
paksakan juga untuk ke kamar mandi dan bergegas memakai seragam biru hitam,
seragam resmi kebangaan CV.Daya Perkasa Mandiri.
Setelah meeting pagi yang dipimpin oleh pak Citin salah satu menejer di
kantor ini dan admin membacakan daftar pasangan kru di lapangan aku segera
meninggalkan kantor bersama yang lain menuju warung si mbok yang ada di pinggir
terminal sana.
Satu porsi nasi pecel, sop atau nasi semur, bakwan, dan teh hangat yang
harganya hanya Rp.2.000,- ini lah yang membuat warung si mbok tak pernah sepi
dari pembeli, ditambah satu keistimewaan lagi tentunya, yaitu “boleh ngutang”
he he.
Setelah menikmati makanan yang super murah itu aku bersama pak I’ing
berjalan menuju Bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) bertuliskan Semarang – Surabaya AC
Tarif Biasa. Sudah hampir satu bulan
rasanya aku dan pak I’ing tak pernah dipasangkan di lapangan oleh menejer
seperti ini.
“ Kemana ntar pak ? “ tanyaku ke pak I’ing yang baru saja membuang
rokoknya karna sudah akan masuk ke dalam bus.
“ Ke mana aja lah, pak Saiful punya planing mana nih ? “
“ Wah kok malah ganti Tanya balik tow pak, kan aku udah 2 hari zero pak, udah blank nih
pikiran, gak punya instink pak “
“ Ya udah jalan saja pak…..” jawab
pak I’ing juga kelihatannya bingung.
Perjalanan yang lama karna sedikit macet tidak seperti biasanya membuat
aku tertidur dan kini terbangun karna suara gaduh dari para penumpang yang
lain, pak I’ing nampaknya tadi juga tertidur karna sekarang aku lihat wajahnya
juga menunjukkan ekspresi kaget.
Ternyata kita sudah sampai di terminal kota Kudus dan kini terminal telah menjadi
sebuah danau dengan genangan air kira-kira setengah meter, inilah yang membuat
para penumpang menjadi gaduh karna kebingungan untuk turun.
“ Pak I’ing..,, gimana nih pak “
“ Waduh…,, pak I’ing nyerah deh kalau gini “ jawabnya cengar-cengir
Dengan menyingsingkan celana dan baju bawahan sebagian penumpang yang
bertujuan ke kota
kretek ini terpaksa harus turun menghadapi banjir yang tidak terprediksi
sebelumnya ini.
“ Udah, kita ke Demak aja pak sekalian “ ajak pak I’ing
“ Oke….,,, aku ngikut sampeyan saja lah pak “
Setelah kurang lebih 10 menit bus berjalan dan melewati gapura raksasa
bertuliskan “ Selamat Datang di Kota Wali ” akhirnya kita turun di kecamatan
Karanganyar, kecamatan paling timur dari kabupaten Demak ini.
Dengan membaca Bismillahirrohmanirrohim aku awali ekspedisi di kota wali ini, secara
bergantian aku dan pak I’ing mencoba intro untuk bisa masuk ke dapur konsumen
namun sangat sulit mendapat kesempatan presentasi di sini.
Dengan tanpa istirahat selain sholat dzuhur tadi kita tak henti-hentinya
keluar masuk rumah penduduk desa ini, semakin penasaran dan tertantang juga
rasanya karna semenjak menginjakkan kaki di sini sampai matahari hampir
tenggalam belum pernah sekalipun kita megang kompor. Huhf, penduduk sini
ternyata kritis juga, fikirannya terlalu su’udzon dengan kedatangan kami.
Seperti permainan sepak bola, menit demi menit sangatlah berarti, bahkan
kemenangan atau gol pun bisa dicetak di detik-detik akhir pertandingan. Seperti itu lah yang kini tengah aku alami
bersama pak I’ing. Setelah hampir putus asa dan memutuskan untuk pulang
akhirnya kita memasuki rumah terakhir yang akan kita masuki karna memang inilah
rumah satu-satunya yang tersisa dari jalan keluar menuju jalan raya.
“Assalamu’alaikum pak buk, kami dari kantor layanan elpiji, mau ada
survey di rumah ibu” begitu pak I’ing
melakukan intro dengan logat khas Bantennya.
“ Wa’alaikum salam, oh ya silakan pak “ jawab bapak dan ibu pemilik rumah
hampir bersamaan dengan sangat rumah.
Setelah kami dipersilakan masuk dan langsung menuju ke dapur pak I’ing
langsung berpresentasi dengan kata-kata yang lugas dan gerak tubuh yang
meyakinkan sehingga pemilik rumah sangat tetarik dan menikmati kata demi kata
dan informasi-informasi penting yang berhubungan dengan gas elpiji, sampai
akhirnya beliau pemilik rumah berminat menerima jasa servis dan pemasangan instalasi
gas dari kami.
“ Huhft,, akhirnya dapet juga ya pak…,, gak nyangka ya pak ternyata
rezeki kita ada di pinggir jalan raya ini, padahal seharian kita muter-muter di
dalam desa sana
lho ”
“ Iya juga ya pak “ jawab pak I’ing yang duduk di sebelahku di emperin
masjid sambil membuka sepatu karna adzan magrib sudah sejak tadi terdengar. Tak
ingin lagi aku meninggalkan kewajiban sholat seperti barusan yang melewatkan
sholat Ashar.
Seusai sholat pak I’ing mengajakku mencari warung untuk mengisi perut
yang sejak tadi siang kosong selain diisi segelas teh hangat di rumah yang
terakhir kita masuki tadi.
Tanpa kami melambaikan tangan sebuah bus berhenti dan menawari kami naik
ketika melihat kita berdiri di pinggir jalan setelah baru saja keluar dari
warung. Bis bermuatan hampir penuh ini berjalan dengan kecepatan agak kencang.
Tidak lama setelah kira-kira berjalan 5 kilometer tiba-tiba berhenti mendadak
karna ada banjir setinggi hampir satu meter di depan sana. Sopir dan kernet meminta semua
penumpang turun, mereka berani melanjutkan perjalanan dengan alasan takut
mesinnya kemasukan air dan rusak.
“ Sialan nih sopir “, pikirku, ada-ada saja alasannya, padahal semua bis
yang ada di depan tidak masalah dengan banjir, mereka tetap jalan.
Semua penumpang protes kepada sopir dan kernet yang tidak bertanggung
jawab ini, sopir tetap bersikeras tidak mau jalan, akhirnya jalan-tengah pun
diambil, semua penumpang sepakat mau turun dengan catatan ongkos dikembalikan
100 %.
Huh,, baru saja aku merasakan bahagia pulang dengan hasil sheling produk
1 set kini merasakan kemalangan lagi. Entah kenapa sejak turun dari bis tadi
belum ada lagi satu pun bis yang lewat. Para
penumpang yang terlantar kini berpencar bingung mencari tempat yang agak tinggi
dan tempat berteduh karna mulai turun gerimis.
Masa bodoh dengan yang lain aku dan pak I’ing dengan sepatu kami jinjing
di tangan berjalan ke arah timur mengikuti arah laju truk-truk besar yang
berani melawan genangan banjir ini.
Setelah sejauh kira-kira 100 meter aku tiba di persimpangan jalan lingkar
Kudus yang tempatnya agak tinggi sehingga banjir tidak menggenang sampai sini.
Pak I’ing langsung bergerak menuju ke sebuah kios untuk membeli rokok. Tampak seorang anak kecil pedagang asongan
duduk seorang diri bawah lampu lalu lintas di depan sana sehingga menarik perhatianku untuk
menyusulnya.
“ Pak I’ing tunggu aja di kios sana,
ntar saya nyusul, mau kesana bentar pak, nyamperin anak yang jualan tuh “
kataku sambil menunjuk anak jalanan itu.
“ Huhft,, nggak ada bis ke timur dik ya “ kataku memulai berbasa-basi
setelah ikut duduk disampingnya di atas marka jalan.
“ Iya mas, kalo jam segini emang jarang, kalau ntar agak maleman banyak,
Bis Indonesia, Jakarta – Surabaya. Emang dari mana mas ? “
“ Oh tadi dari Demak dik mau balik ke Pati, trus karena banjir di sana tadi bisnya nggak
brani jalan, takut mesinnya rusak. Padahal tadi siang sini tidak banjir kan “
“ Tadi katanya tanggul sungai timur pasar Karangayar jebol mas, makanya
airnya meluap sampai sini “ jawab anak berusia kira-kira 11 tahun ini.
“ Emmm,, eh jualan apa dik ? “ tanyaku sambil menengok ke arah kardus
yang di letakan di depannya “ yang ternyata beris beberapa pak dodol dan
jenang.
“ Ini mas jualan oleh-oleh, barang milik orang lah mas, itu milik pak
haji yang punya kios di sana
“ sambil anak ini menunjuk ke sebuah kios jajanan dekat tempat pak I’ing
membeli rokok.
“ Jualannya di mana saja dik “
“ Ya di lampu-lampu merah kayak gini mas, kadang juga ikut naik di atas
bis “
“ O…,, dikasih upah berapa setiap bungkusnya ? “
“ Lima ratus rupiah mas, aku jualnya ambil
untung lima
ratus juga, jadi satu bungkusnya aku dapat seribu rupiah kalo laku “ jawabnya
dengan polos
“ Emm…,, bagus dong…,, udah laku berapa dik tadi ? “
“ Sejak sore tadi baru laku dua mas “
Ya Allah…, hatiku terasa begitu iba mendengarnya, berarti dia baru
mendapatkan uang dua rupiah sejak tadi, dua ribu rupiah yang sangat tidak
berarti untuk anak-anak lainnya pada umumnya, yang akan habis seketika hanya
untuk bermain Playstation (PS) satu jam saja.
“ Jam segini kok masih jualan dik,, sampai jam berapa biasanya ? “
“ Ya kadang sampai jam 2 malam mas “
“ Paginya kalau sekolah gimana ? nggak ngantuk dik ? “
“ Walah mas…,, jangankan mikir sekolah mas, untuk makan sehari-hari saja
bingung kok mas “
Bagai tersayat sembilu rasanya hatiku mendengar jawaban anak ini, hatiku
benar-benar menangis dibuatnya, mataku berkaca-kaca, hampir tak bisa aku
berkata apa-apa, dadaku terasa sesak hingga hanya bisa terdiam untuk beberapa
saat.
“ Bapak ibu” di mana dik ? masih ada kan ? “
“ Ndak tahu mas, pada ilang semua “
“ Lho ilang gimana tow maksudnya ? “
“ Ya dulu bapak merantau di Jakarta
tapi nggak pulang-pulang, terus ibu nyusul juga nggak ada pulang juga, dulunya
aku tinggal dirumah sama mbak, tapi sekarang rumahnya udah dijual, mbak kabur
sama suaminya.
“ Lha sekarang adik tinggal di
mana ? ikut siapa ? “
“ Ya nggak ikut siapa-siapa mas, aku tidurnya ya di masjid-masjid, ya di
mana aja lah mas, kalau aku jualan dimana bis berhenti ya di situ aku tidur
kalau malem “
“ Nggak punya saudara lainnya dik ? pak lek atau pak de mungkin “ ?
“ Nggak ada mas, tetangga-tetangga ya banyak yang mau ngajak aku tinggal
di rumahnya, tapi aku yang nggak mau mas, nggak mau menggantungkan orang lain “
lebih enakan gini.
“ Adik rumahnya dulu mana ? “
“ Prawoto mas, Pati ujung selatan sana
“
“ Dulu sempat sekolah sampai kelas berapa dik “
“ Baru lulus SD kemaren mas, terus nggak ngelanjutin karna nggak ada yang
bayarin, lagian aku juga nggak punya tempat tinggal tow mas “
Anak ini terlihat begitu tegar menceritakan hidupnya yang mungkin aku
sendiri belum tentu sanggup menjalaninya.
“ Blom ada bis ya pak ? “ Tanya pak I’ing terdengar dari belakang “
“ Belum ada e pak, bisa nggak pulang nih pak “
“ Eh itu ada mas “ kata anak kecil tadi setengah teriak, setalah melihat
sebuah bis dari arah barat.
“ Oh ya makasih, mas pulang dulu ya dik, baik-baik ya dik “ aku setengah
terburu-buru berpamitan dengannya karna bis sudah berhenti tepat di samping aku
dan pak I’ing.
Senyumnya yang haru mengantarkan aku naik ke atas bus, sekali lagi aku
menoleh ke arahnya sebelum pintu bis tertutup, berat rasanya perpisahan dari
pertemuan yang amat singkat tadi.
Aku duduk di bangku paling belakang yang kebetulan masih ada banyak
bangku yang kosong. Pak I’ing langsung besandar dengan kaki bertumpu di
sandaran bangku yang ada di depannya, melampiaskan kelelahannya karna seharian
telah bergelut dengan konsumen dan banjir.
Fikiranku masih terus teringat akan anak tadi, ya Allah…,,, betapa
bodohnya aku, kenapa tidak terfikirkan sejak tadi untuk memberinya sedikit uang
untuk sekedar jajan atau makan. Rasa bersalah dan penyesalan kini menyelimuti
diriku, bahkan menanyakan namanya pun aku lupa, betapa rasanya aku ingin
melompat dari bis dan menemuinya kembali, namun itu tidak mungkin.
Sungguh dalam hati kecil aku merasa menjadi pecundang dihadapan anak itu,
aku yang sering mengeluh, malas, merasa hidupku tidak pernah mendapatkan
kebahagiaan ternyata jauh lebih beruntung dibandingkan anak kecil tadi. Anak
sekecil itu, yang semestinya dia menjalani masa kanak-kanaknya dengan belajar
dan bermain, dimanja, dan selalu mendapat perhatian dan bimbingan dari
orang-orang tersayang, kini dia harus berjuang hidup seorang diri, tanpa punya
tempat peraduan untuk kembali.
Pertemuan ini tlah memberiku kesadaran yang baru, kesadaran yang
benar-benar nyata, bukan sekedar teori namun kenyatann yang pasti. Bahwa
betapapun diri ini sengsara masih banyak di luar sana
orang-orang yang jauh lebih sengsara, saat terkadang diri ini menangis hanya
karna putus cinta, di luar sana
banyak anak-anak yang besok tak tahu mau makan apa, akan tinggal di mana, dan
masa depannya seperti apa. “ Ya Allah,
aku mohon pertemukanlah aku dengannya kembali “
begitu do’aku dalam hati. Memang aku tak punya apa-apa untuk kuberi,
tapi setidaknya aku ingin bisa memberinya motivasi agar dia tidak merasa
sendiri.
No comments:
Post a Comment