Belakangan ini salah satu publik figur, seorang pendendang
shalawat yang tampan, kerap disorot publik. Semua itu karena foto selfienya
bersama seorang anak ustad termasyhur di negeri ini. Foto-foto yang diunggah ke
medsos tersebut menuai banyak komentar.
Komentar yang umum dilontarkan
adalah cap "m u n a f i k" yang disematkan pada mereka. Bagaimana
tidak? Keduanya adalah dua anak yang tumbuh di lingkungan relijius berdasarkan
nilai-nilai islami. Dan, mereka sendiri percaya bahwa pacaran itu dosa atau
haram. Tapi, mereka justru mengunggah foto-foto kedekatan mereka. Tidak
pacaran, tapi kok foto berdua? Kok berduaan terus? Kok dekat?
Saya akan coba menguraikan
pandangan saya tentang hal ini.
Pertama, mereka lahir dalam
lingkungan religius yang mau tak mau menuntut mereka untuk bersikap religius
juga. Entah terpaksa, sukarela, atau pasrah saja, mereka menjadi tokoh milenial
yang religius.
Karena hal itu, mereka harus memakan dogma yang diajarkan
pada mereka (dalam hal ini ajaran agama Islam). Salah satu dogma tersebut
adalah larangan berpacaran. Mereka berusaha memenuhi larangan itu agar mendapat
prestise "anak yang sholeh", "anak yang patuh pada perintah
Tuhan", dan segala macam kemuliaan ilusif yang mereka dambakan.
Di sisi lain, naluri remaja mereka berkembang. Kebutuhan
ingin dicintai. Rasa ingin memiliki. Mereka ingin ada seseorang di dekatnya
untuk saling berbagi kasih. Dan itu mereka wujudkan dalam bentuk selfie berdua.
Jalan-jalan berdua. Ngobrol berdua.
Sebenarnya itu normal-normal saja. Wajar. Tapi, menjadi tak
wajar ketika mereka adalah tokoh islami yang sebelumnya tidak pro pacaran.
Masyarakat kita sekarang ini sudah muak dengan kepalsuan.
Muak dengan penceramah yang ternyata makelar politik. Muak dengan tokoh agama
yang ternyata memihak otoritas. Muak dengan ustad yang ceramahnya cuma berisi
kebencian. Masyarakat kita sudah muak dengan KEPALSUAN. Dan, polemik tentang
pendendang shalawat dan anak ustad ini menambah daftar kemuakan itu. Ujungnya
mereka diteriaki "m u n a f i k".
Memang, mereka sendiri telah termakan dogma yang dianutnya.
Tapi, bagaimanapun juga mereka adalah korban. Korban dari lingkungan. Korban
dari dogma. Korban dari popularitas. Mereka belum bisa membuka mata saat
dilepas ke rimba raya. Lalu seseorang menuntunnya ke mana dia mau.
Dan, tak semua orang berani jujur pada diri sendiri. Jujur
bahwa mereka memiliki naluri. Bahwa mereka ingin mencintai. Mereka malah
tutup-tutupi, yang membuat ini terkesan munafik. Padahal kalau saja mau jujur,
setidaknya tak ada dua muka di antara kita?
08.40.03.08.2019
keren
ReplyDeleteWkwk dikoment dewe :v
DeleteSing nulis mantap
ReplyDeleteTerimakasih banyak kawan🙏
Delete