![]() |
Budi Maryono |
Akhir tahun 2006, Selepas isya’ aku geber motor tua
Yamah Alfa menuju rumah salah seorang kawan yang ku panggil “Lek Ali”. Bukan tanpa alasan kupanggil dia “Lek”,
karena memang usianya pada waktu itu sudah kepala tiga sedangkan aku baru 17
tahun. Jangan heran, karena pertemanan itu tidak memandang strata dan usia.
Hari sebelumnya aku sudah ijin kepadanya untuk
meminjam komputer Pentium 3 rakitan sendiri yang dia miliki sehingga ketika aku
ke rumahnya dengan membawa bendelan kertas ia langsung paham apa tujuanku
bertamu.
Malam yang semakin hening membuat suara keyboard
terdengar semakin nyaring, beradu dengan iringan lagu sendu dari speaker komputer
dengan volume bisik-bisik. Entah sejak kapan Lek Ali sudah ngorok di
kursi kayu satu-satunya yang ada di ruang tamu, aku tak menyadari karena sebelumnya
ia tengah asyik dengan solder dan kabel-kabel. Ya, dia si tukang servis barang-barang elektronik
yang terkenal telaten.
Saat itu aku mengetik sebuah cerpen yang terlebih dulu
aku buat draftnya di kertas HVS yang kubeli eceran di kios fotocopy. Dengan semangat yang masih lugu haqqul yakin
bahwa cerpenku akan diterima oleh koran atau majalah yang nantinya akan
mengirimiku imbalan beberapa ratus ribu rupiah.
Begitulah jiwa remaja yang masih benar-benar cubluk akan luasnya
dimensi dunia dan ilmu, hanya bermodal nekat karena tertarik kata-kata di kolom
majalah dan koran yang berbunyi “Redaksi menerima tulisan dari luar, Karya yang
diterima akan mendapatkan imbalan yang layak, syarat tulisan bla bla dan
seterusnya” begitulah kira-kira yang aku ingat.
Kesukaanku akan membaca buku-buku di perpustakaan sejak
masih SD, di koran-koran bekas, dan majalah milik bapakkku memberi dorongan yang
sangat kuat untuk menulis. Aku ingin namaku dikenal banyak orang dan mendapat
uang dari tulisan-tulisanku, jujur saja seperti itulah alasanku ingin menjadi
penulis. Aku sisihkan uang saku setiap
harinya demi membeli perangko agar karyaku sampai ke alamat redaksi koran dan
majalah.
Apakah karyaku diterima ? sudah pasti diterima, tapi
tidak dimuat. Terlalu naif memang, seorang siswa Madrasah Aliyah yang masih
sangat bodoh berharap tulisannya terpampang di media masa. Semangat yang karbitan itupun akhirnya mplempem,
tidak ada lagi keinginan untuk melakukan hal-hal percuma dengan terus mengirimi
redaksi media masa dengan tulisan picisanku, begitulah awal-awal aku masuk
dalam dunia menulis sampai suatu hari kenal dengan seorang penulis senior Budi
Maryono yang merubah cara berpikirku 180 derajat. Akan kuceritakan nanti
kisahnya..
Keinginan untuk menulis itu selalu muncul walaupun aku
berusaha menguburnya dalam-dalam. Tiga tahun setelah lulus Aliyah dan mencoba
berkenalan dengan dunia kerja yang nyata ternyata tidak serta merta membuatku move
on dari keinginan menjadi penulis.
Seolah bara api yang setiap saat bisa berkorbar ketika terhembus angin,
ambisiku untuk menjadi penulis profesional pun sekonyong-koyong datang tanpa
permisi. Lenyap, datang lagi dan lagi.
“Aku akan menjadi Blogger, tulisan-tulisanku bisa
dibaca orang di seluruh penjuru dunia, aku bisa dapat banyak duit dari internet,
tidak seperti dulu yang harus mengemis agar tulisan dimuat oleh media massa”.
Begitu ku berpikir ketika memantapkan diri untuk menjadi blogger pada tahun 2011, lewat komunitas penulis dunia maya
pula aku mendapatkan kesempatan untuk menulis novel dan buku antologi yang
nantinya diterbitkan secara self publisihing atau indie.
Rupanya tidak sesederhana itu arti menulis, aku
merasakan juga menyadari namun tidak bisa mendefinisikannya. Jutaan kata sudah
kubaca jutaan pula sudah kutulis demi sesuatu yang aku bingung entah untuk
apa. Apakah demi mimpi bergelimang
materi dari menulis ataukah demi popularitas yang tak kunjung aku rengkuh ? aku
bertanya pada diriku sendiri.
Kucari dan terus mencari, membaca dan terus membaca,
berharap semangat menulis tetap membara dan kusudahi dahaga akan rasa
keingintahuan kenapa aku harus menciptakan tulisan demi tulisan daripada
melakukan sesuatu yang nyata-nyata lebih menghasilkan. Namun tidak juga aku
dapatkan..
Hingga akhirnya…
SEBUAH
TULISAN TERBACA OLEH SATU ORANG SAJA YANG KEMUDIAN BERGERAK KE SIKAP,
PEMAHAMAN, ATAU APA PUN YANG LEBIH BAIK, ITU ADALAH TULISAN SUKSES
--- BUDI
MARYONO ---
Lucu
! quot yang tidak lebih dari 30 kata dari Pak Budi di atas menjawab semua
pertanyaan yang selama ini menghantui hidupku.
Yess !! inilah yang selama ini aku cari !! sorakku dalam hati ketika suatu
waktu secara tak sengaja melihatnya di wall Facebook pak Budi, seorang penulis
senior yang aku kenal di dunia maya, dan baru satu kali saja melihatnya secara
langsung di sebuah majlis ilmu “Suluk Maleman” yang aku ikuti. Hanya melihatnya, bertemu pun tidak, apalagi
bertegur sapa dan bersalaman mesra. ^__^
Pak
Budi telah mengaduk-aduk kesadaran berfikirku, terimakasih tak terkira untuk
arah yang ditunjukkannya dalam ketersesatanku akan tujuan dan pilihan menjadi
seorang penulis. Bukan sekedar hobi,
bukan pula untuk menjadikan tulisan sebagai pintu rejeki, tapi harus bisa
menjadikan tulisan adalah rejeki untuk orang lain juga. Karena rejeki dari
Tuhan yang tiada akan habis adalah pemahaman..
Meminjam quote pak Budi Maryono, Penulis yang sukses adalah penulis yang dengan tulisannya berhasil menggerakkan orang lain untuk bersikap yang lebih baik, walau satu orang saja..
No comments:
Post a Comment