Ketika membaca judul tulisan di atas mungkin pembaca
yang budiman kurang atau bahkan sama sekali tidak setuju dengan judulnya, sepintas terlihat provokatif atau terkesan
kejam, hehe, namun percayalah itu hanya sebuah judul, inti dari pembahasan kita
di sini nanti tidak se-antagonis seperti yang mungkin pembaca bayangkan, dan
satu hal yang perlu diperjelas di awal adalah orang miskin yang dimaksud di
sini adalah “orang yang sengaja memilih menjadi miskin dan orang yang dianggap
miskin (padahal sebenarnya tidak miskin)”, terlalu panjang kalau dibuat judul,
^__^
Seperti nama blog ini “SISI PANDANG LAIN”, penulis sangat berharap dan berusaha untuk mengajak pembaca melihat segala sesuatu dari sisi pandang yang lain, yang benar-benar lain, yang sangat jarang bahkan belum pernah ada yang melihat dari sisi tersebut, kita tidak sedang mencari kebenaran atau kesalahan dari suatu hal, toh kebenaran atau kesalahan itu tidak ada indikatornya yang pasti, semua tergantung perspektif individu, bahkan wahyu Tuhan yang hakikatnya benar pun menjadi salah di mata orang yang punya indikator kebenaran lain, itu jika kebenaran didasarkan pada perspektif manusia.
Seperti nama blog ini “SISI PANDANG LAIN”, penulis sangat berharap dan berusaha untuk mengajak pembaca melihat segala sesuatu dari sisi pandang yang lain, yang benar-benar lain, yang sangat jarang bahkan belum pernah ada yang melihat dari sisi tersebut, kita tidak sedang mencari kebenaran atau kesalahan dari suatu hal, toh kebenaran atau kesalahan itu tidak ada indikatornya yang pasti, semua tergantung perspektif individu, bahkan wahyu Tuhan yang hakikatnya benar pun menjadi salah di mata orang yang punya indikator kebenaran lain, itu jika kebenaran didasarkan pada perspektif manusia.
Kenapa judul tulisan ini mengajak pembaca untuk tidak
selalu memanjakan orang miskin ? karna memang siapapun tidak baik untuk selalu
dimanja, namun bukan itu poinnya, poin di sini adalah kita akan mencoba melihat
dan mengupas “SI MISKIN” yang tidak boleh selalu dimanja itu.
Secara gamblang kita dapat memahami predikat miskin disematkan
pada orang-orang yang kekurangan bahkan tidak punya sama sekali harta
benda. Oleh badan pusat statistik negara
malahan dijabarkan dengan njelimet definisi orang miskin itu seperti apa,
diantaranya ukuran rumah yang sempit, dinding dan lantai rumah yang ala
kadarnya (kurang layak), pendapatan/gaji yang rendah, tidak memiliki
barang-barang yang dikategorikan mewah seperti TV, Motor, Kulkas atau yang
lainnya, dan masih banyak lagi definisi miskin lainnya yang tidak bisa ditulis
di sini, namun bila pembaca mau menyimpulkan dari berbagai referensi yang ada
maka kesimpulannya sederhana saja, yakni : “Kemiskinan selalu dilihat dari
keadaan fisiknya, bukan pada realita, sebab, dan akar masalah penyebab
kemiskinan itu sendiri”.
Oke, anggap saja kita setuju dan menerima definisi
miskin seperti yang telah disepakati di atas, dan sepakat kalau miskin atau
tidaknya seseorang dilihat saja dari barang-barangnya, maka kita akan menemui kontradiksi-kontradiksi
yang amat banyak
Dalam UUD Negara kita sangat jelas dan lantang bunyi
pasal yang menyebutkan bahwa orang miskin kebutuhannya harus ditanggung dan
dijamin oleh Negara. Di sisi lain pun
kita seakan-akan sudah terdoktrin bahwa orang miskin harus selalu kita bela,
entah darimana dan bagaimana asalnya doktrin itu muncul, padahal agama manapun
tidak pernah memerintahkan untuk selalu mengistimewakan dan memanjakan orang
miskin. Diharuskan membantu memang iya,
tapi tidak mesti selalu memanjakannya.
Bukti bahwa orang miskin cenderung selalu dimanjakan
sangat banyak sekali kita temui, misal : Bila ada dua orang yang berperkara,
entah itu perkara biasa atau masuk ke ranah hukum, dan jika perkara itu dimenangkan oleh orang
kaya, maka opini yang merebak dan paradigma umum berasumsi bahwa orang yang
kaya telah berlaku dzolim, orang miskin telah ditindas, dan lain
sebagainya. Padahal dalam suatu
perkara/masalah masing-masing punya hak dan posisi yang sama tanpa harus
terlebih dahulu menilai mereka kaya atau miskin, bisa saja memang si miskin
yang jelas-jelas salah, namun merasa benar, seolah-olah kemiskinannya menjadi
pembenaran atas setiap kesalahan yang ia perbuat. Memang tidak bisa kita memungkiri bahwa orang
kaya cenderung “bisa” membeli hukum, namun tidak semua orang kaya melakukan
itu.
Contoh selanjutnya, dalam hal bantuan, subsisi, atau
jaminan dari pemerintah orang miskin selalu merasa paling berhak untuk
menerima, orang kaya dianggap tidak punya hak.
Memang orang miskin lebih berhak tapi bukan berarti orang kaya tidak punya
hak sama sekali untuk mendapat kemudahan.
Sekali lagi di sini kita bukan dalam rangka memojokkan orang miskin,
namun kita mencoba menelaah dengan melihat dari sisi pandang yang lain,
sehingga masalah yang sebenarnya yakni “KEMISKINAN” dapat kita atasi tanpa
harus selalu memanjakan orang-orang miskin tersebut.
Bila kita percaya sepenuhnya bahwa kebodohan dan
kemiskinan adalah sebuah keadaan yang sengaja dikondisikan oleh Tuhan secara
permanen, maka sesungguhnya kita mungkin telah gagal dalam ber-Agama. Tuhan memang telah menciptakan dua keadaan
miskin dan kaya, itu takdir, namun Tuhan pastinya tidaklah menciptakan orang
kaya dan orang miskin, setiap manusia terlahir sama tanpa membawa harta benda,
kalau soal terlahir di keluarga yang miskin atau kaya itu hal yang sangat
normatif. Banyak di sekeliling kita
orang kaya raya yang terlahir dari orang-orang miskin, bahkan dari kakek
buyutnya juga miskin. Dengan memahami 1
(satu) saja firman Tuhan yang menyebutkan bahwa Dia (Tuhan) tidak akan merubah
keadaan suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang merubahnya, maka sepatutnya
lah sudah jelas bahwa Tuhan itu MAHA ADIL, apa yang kita dapat berbanding lurus
dengan apa yang kita perbuat. Memang adakalanya sesuatu hal yang terjadi adalah
di luar kuasa kita manusia (skenario Tuhan), tapi tidaklah logis kalau Tuhan
selalu menggerakkan hidup kita, Tuhan pasti memberi kebebasan kita untuk
memilih menjadi miskin atau menjadi kaya. Bukankah kita diperintahkan untuk
selalu berprasangka baik kepada-NYA ? dan bukankah kita juga kita dilarang
berputus asa dari Rahmat-NYA ?
Saat orang-orang “yang memilih” miskin tertidur lelap,
calon orang-orang kaya masih berkutat dan berjibaku dengan pekerjaannya. Saat orang-orang
“yang memilih” miskin terlalu lama menikmati obrolan di warung kopi, calon
orang-orang sukses di luar sana mempertaruhkan segalanya demi pekerjaan yang
resikonya bias saja mati. Ketika orang-orang “yang memilih” miskin dengan enjoy
menghabiskan upahnya yang tak seberapa untuk berbagai hal yang kurang urgen
(penting dan mendesak), calon-calon jutawan itu rela berpuasa sekian lama
menginvestasikan waktu, tenaga, dan uangnya agar kelak bisa kaya. Dan perlu kita menyadari juga bahwa orang
kaya tidak selalu identik dengan sifat sombong, sewenang-wenang, boros, dan
sifat-sifat negatif lainnya.
Masihkah
kita “orang yang memilih” menjadi miskin akan selalu menuntut untuk dimanja ?
No comments:
Post a Comment